Friday 8 July 2016

Jangan Latih Anak-anak Dijemput KBRI..

Jangan Latih Anak-anak Dijemput KBRI..! Oleh: Rhenald Kasali

Mungkin kita semua sepakat, anak-anak yang pintar di sekolah belum tentu pintar dalam kehidupan.
Sayangnya banyak orang tua yang masih berpikir, kalau anaknya juara kelas, pintar di sekolah, pasti akan pintar menjalani hidup. Untuk itulah sering kita lihat orang tua yang amat protektif, membuat anak merasa sudah belajar walau itu hanya di sekolah. Sedangkan perjalanannya menuju sekolah, pergaulannnya, kebiasaannya mengambil keputusan dalam keadaan sulit, selalu disterilisasi orangtua. Apalagi bila orang tua punya kuasa, banyak koneksi, punya uang, maka semua itu akan distrerilisasi lebih luas lagi. Padahal yang membentuk orang tuanya hari ini sukses sudah jelas: orangtua mereka tak seprotektif mereka. Kalau sudah begitu, apa hasilnya? Anda lihat sendiri, banyak anak-anak pandai di sekolah tak berdaya saat di-bully kawan-kawannya, kurang bergaul, dan bila dikejar anjing di kampung, ia tidak bisa melompat, larinya tercekat. Dan di usia dewasa, ia bisa menjadi sosok yang sulit bagi teman-teman, pasangan dan kolega-koleganya. Ia akan merasa terus pandai, seakan-akan kecerdasaannya tetap, tak berubah.

Ke Luar Negeri, Bagus Pepatah mengatakan, dunia ini ibarat sebuah buku. Mereka yang tak melakukan perjalanan (hanya kuliah saja), hanya membaca satu halaman. Terilhami oleh Susi Pudjiastuti, saya pun menugaskan mahasiswa ke mancanegara. Tidak main-main. Satu orang satu negara. Menteri Kelautan dan Perikanan ini, sejak remaja sudah menyewa truk dari kampungnya di Pangandaran, hanya bersama seorang sopir, ia pergi membeli ikan ke Cirebon atau Indramayu, lalu berjualan ke Pasar Ikan di Jakarta. Bila dulu saya menugaskan tiga orang satu negara, sejak kehadiran Ibu Susi di kelas itu, saya mengubahnya menjadi satu negara-satu orang. Syaratnya, tidak boleh di antar, dan tak boleh ada yang menjemput. Itupun harus pergi ke negara yang tak berbahasa Melayu. Anda tahu siapa musuh program ini? Para mahasiswa melaporkan, ada dua pihak. Pertama adalah orang tua yang selalu beranggapan anaknya bak princess. Orangtua bahkan merespon dengan negatif, takut anaknya kesasar. Padahal doktrin kelas itu sejak awal sangat jelas, “Berpikir karena kesasar.” Setiap kali orangtua protes, saya selalu bilang, “Memang kalau tersasar, mengapa?” Dari situ, sebagian tiba-tiba tersentak dan tertegun sendiri karena hampir semua orangtua pasti pernah kesasar, dan toh akhirnya pulang juga dengan selamat. Malah menjadi semakin pandai, lebih percaya diri. Sebagian lagi, responsnya begitulah, memindahkan anaknya ke kelas lain. Mereka mengambil keputusan untuk anaknya yang sudah dewasa dengan menghentikan sebuah proses belajar yang penting untuk membangun hidup mereka. Orangtua juga mengatur banyak hal. Tiket pesawat, rute tujuan, menginap di mana, siapa yang jemput, makan apa, pakaian dan perlengkapan, sampai SIM Card dan obat-obatan. Padahal anaknya gaul, sehat, senang berpetualang. Dan kalau diatur, ia malah menjadi merasa tak dipecaya, bahkan malu dengan kawan-kawannya. Bagi saya, ini semua bisa membuat anak kurang terlatih menghadapi kesulitan. Sebab setiap kali menghadapi persoalan kecil saja, mereka bisa menghindar dan cepat-cepat minta bantuan. Dan musuh kedua adalah, para dosen sendiri. Ya, para akademisi percaya anak pintar itu tak boleh banyak bermain. Baca, baca, baca, buat tugas. Padahal anak-anak pintar itu terlalu serius, terlalu steril dan kurang bermain. Anda tahu apa yang dilakukan orangtua agar anak-anaknya diterima di perguruan tinggi yang bagus? Mungkin Anda bisa lihat bagaimana treatment orangtua sejak anaknya masih kecil. Jangankan untuk menuju perguruan tinggi, untuk diterima di SMP yang bagus saja, sejak kelas 5 SD anak-anak itu sudah dilatih pulang sore/malam hari, ikut les ini dan itu. Katanya untuk diterima di SMP A harus ikut bimbel di B. Kalau sudah begitu, anak-anak yang pandai ini menjadi kurang bergaul dan menjadi kurang asyik di mata teman-temannya. Mereka dicetak dalam alam berpikir bahwa pandai dalam kehidupan itu ada di ruang kelas, melalui program tertulis. Padahal pandai itu adalah mampu mengambil keputusan yang tepat. Bayangkan, bila sejak kecil sampai dewasa anak-anak itu tak pernah berlatih mengambil keputusan dalam keadaan sulit. Bahkan untuk naik taksi saja ia tak berani. Pergi ke luar negeri seorang diri, bagi seorang anak ia akan belajar banyak hal. Bagaimana kalau ketinggalan pesawat, kehilangan bagasi, kesasar, diganggu orang, mengunjungi situs-situs penting, mengatur waktu, makan, dan seterusnya. Mengapa harus dijemput? Kisah anak-anak pejabat yang orang tuanya begitu bernafsu mengatur dan mengawal anak-anaknya agar tak kesasar di luar negeri, saat ini sudah amat keterlaluan. Orang tua telah mengambil hak-hak penting si anak untuk menjadi rajawali. Anak diasumsikan sebagai sosok yang tak mampu bergerak sendiri, dan seakan-akan alam tak memberi ruang bagi anak untuk belajar. Padahal, anak SLB sekalipun punya kemampuan belajar yang luar biasa kalau diberi kesempatan, dan sebaliknya kalau dianggap bodoh. Mungkin anda sudah menerima catatan seorang dosen di Surabaya yang viral dua hari ini. Sayang, saya tak menemukan sumbernya setelah beredar dari satu WA ke WA lainnya. Tapi saya kira apa yang dilakukan untuk merekam momen yang ia lihat dan catat harus kita hargai. Ini sebuah catatan yang istimewa bagi para orangtua dan pendidik. Ia mencatat kejadian saat menemukan seorang siswa SLB penderita tunagrahita yang begitu bahagia saat menemukan alamat yang dicari. Siswa itu kabarnya diberangkatkan dari Jogja untuk mencari alamat di Surabaya. "Syaratnya boleh bertanya, namun tidak boleh diantar, tidak boleh naik kendaraan yang bersifat mengantar seperti taxi dan becak. Tidak boleh meminta - minta. Dan masih banyak aturan lain Bahkan dia mencari tempat sampah untuk membuang sampahnya." Catat orang berjasa ini. Tapi yang membuat saya tercengang adalah catatannya yang ini: "Dia berkata bahwa dia dilarang bersedih. "Kata pak Guru aku ngga boleh sedih, kalau sedih nanti bodoh lagi", ucapnya polos." Sekarang tinggallah kita memeriksa apa yang telah kita lakukan pada anak-anak kita. Apakah benar kita telah melatih anak-anak kita untuk menjadi pemimpin yang hebat, rajawali yang matanya tajam dan mampu terbang tinggi, atau menjafikan mereka burung dara yang indah, yang sayap-sayapnya terjahit. Anak-anak yang dijemput dengan fasilitas yang dimiliki orantua akan kehilangan banyak momen yang bisa membuat ia kelak lebih pandai dalam hidup. Kisah anak-anak saya di Fakultas Ekonomi yang pergi ke luar negeri sudah dibukukan oleh mereka sendiri dalam buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor. Edisi terbaru juga telah disiapkan anak-anak itu dalam episode Duta Perdamaian. Ketika mendengarkan presentasi mereka, saya selalu belajar bahwa anak-anak hebat ini kelak akan menjadi lebih hebat lagi. Dengan metode sharing economy, mereka kini bisa menyebar ke mancanegara dengan biaya minimal. Tak terbayangkan bagaimana mahasiswi saya yang dompetnya hilang di London bisa tetap menyelesaikan misinya hingga ke Scotlandia, menembus dua negara selama 10 hari dengan sehat. Tak terbayangkan bagaimana mereka mengajarkan dua perempuan Jepang memakai hijab. Tak terpikirkan pula bagaimana mereka berkenalan dengan anak-anak konglomerat dan dijadikan narasumber di berbagai kampus yang mereka kunjungi. Anak-anak yang steril tak punya cerita menurut versi mereka sendiri. Dan anak-anak itu bisa jadi pembual yang hebat. Tetapi anak-anak yang tak dijemput KBRI kalau ke luar negri, yang berani menghadapi hidup ini dalam perhitungan yang dilatih sendiri, kelak akan mempunyai story versi mereka sendiri. Personal story adalah modal dasar seorang pemimpin. Ia akan merasa hidupnya berarti, dan sadar bahwa di luar sekolah ada banyak pelajaran yang bisa melatih kepemimpian, empati sosial dan pemgambilan keputusan. Jadi, sudahlah. Hentikan dagelan ini, orangtua! ©2016 PT. Kompas Cyber Media

Aku Belajar

🌹 AKU BELAJAR 🌹

Aku belajar bersabar dari sebuah kemarahan... 
Aku belajar mengalah dari sebuah keegoisan... 
Aku belajar tersenyum dari suatu kesedihan.... 
Aku belajar tegar dari suatu kehilangan... 
Hidup adalah BELAJAR..... 
Belajar bersyukur meskipun tak puas... Belajar ikhlas meskipun tak rela.... Belajar taat meskipun berat... Belajar memahami meskipun tak sehati... Belajar sabar meski terbebani...
Belajar memberi meski tak seberapa... Belajar mengasihi meski tersakiti.... Belajar tenang meski gelisah....
Belajar percaya meski susah.... Belajar tabah meski cobaan menerpa... 🌹 ​Aku belajar.... bahwa tidak selamanya hidup ini indah,
kadang ALLAH menyapaku melalui derita. Tetapi aku tahu bahwa IA tidak pernah meninggalkanku, sebab itu aku belajar menikmati hidup dengan bersyukur. 🌹 Aku belajar.... bahwa tidak semua yang aku harapkan akan menjadi kenyataan,
kadang ALLAH membelokkan rencanaku.
Tetapi aku tahu bahwa itu lebih baik dari yang kurencanakan,
sebab itu aku belajar menerima semua itu dengan sukacita. 🌹 Aku belajar.... bahwa cobaan itu pasti datang dalam hidupku.
Aku tak mau dipengaruhi setan utk marah dan emosi,
aku tak mau menyalahkan orang lain,
Juga tidak mungkin berkata "tidak adil ALLAH". Karena aku tahu bahwa semua itu tidak akan melampaui kekuatanku,
sebab itu aku belajar menghadapinya dengan sabar. 🌹 Aku belajar.... bahwa tidak ada kejadian yang harus disesali & ditangisi, karena semua rancanganNYA indah bagiku.
Maka dari itu aku belajar bersabar, bersyukur & bersukacita dalam segala perkara.
Karena semua itu menyehatkan jiwa & menyegarkan hidupku... Saudaraku...
• Ketika "Kaki" sudah tak kuat berdiri... "BERSIMPUHLAH". • Ketika "Tangan" sudah tak kuat menggenggam... "LIPATLAH" • Ketika "Kepala" sudah tak kuat ditegakkan... "MENUNDUKLAH" • Ketika "Hati" sudah tak kuat menahan kesedihan... "MENANGISLAH. • Ketika "Hidup" sudah tak mampu untuk dihadapi... "BERDOALAH"
ALLAH selalu setia bersama kita... dan apa saja yang kita minta dalam DOA dengan penuh keyakinan, pasti Ia akan menerimanya..

Copas  @Regrann from @wanitasaleha

Kebutuhan Atau Konsumtif ?



Kadang saya suka miris dengan curhatan teman dekat,hutangnya via kartu kredit sampai numpuk dan hutangnya itu entah sampai kapan akan lunas.Secara dicicil bayarnya tiap bulan.Dia mengeluh ga bisa mengendalikan diri belanja online.Terkadang kalau galau larinya ke belanja.Padahal barang yang dibeli juga ga butuh-butuh amat,jadinya konsumtif kan?

Padahal kalau saja dia bisa melunasi hutang-hutangnya yang numpuk itu,semisal uang THR yang didapat kemarin dialokasikan separuhnya atau bahkan seluruhnya untuk membayar hutang,saya rasa hidupnya lebih tenang,tak stress terus menerus.

Padahal seandainya dia tahu,kartu kredit ataupun KTA adalah rentenir berkrah putih.Bunga berbunga,Kalau saja dia memahami soal riba dan hutang dalam Islam.Jangan sampai kita mati penuh dengan hutang,Nauzubillah…Itulah kenapa beberapa kajian soal hutang yang pernah saya baca mengatakan,kalau bisa janganlah kita membeli sesuatu dengan berhutang.

Tapi ya namanya hidup masa kini,dengan segala godaan duniawi.Sanggupkah kita bertahan dengan apa adanya kita? Mau punya handphone yang keren harganya sampai 7 jeti.Ngumpulin uang sisa gajian sampai kapan bisa tertabung? Kalau gajinya puluhan juta sich wajar bisa beberapa bulan saja menabung.Tapi kalau gajinya kecil  ibarat pungguk merindukan bulan,jalan satu-satunya meraih yang diinginkan ya dengan berhutang.Apalagi kartu kredit gencar juga menawarkan program cicilan bunga 0%  ibarat gayung bersambut.Kadang itu hanya keinginan bukan kebutuhan,konsumtif dengan cara instan.Yakin ga tuch bunganya  0% ? Mana ada di dunia ini yang gretong,kita sebagai konsumen harus selektif dan jangan cepat terlena.

Mungkin karena saya pernah bekerja di perusahaan leasing / finance dan juga di sebuah bank,saya cukup tahu lika liku soal hutang piutang ini.Saya bersinggungan langsung dengan para customer dan juga debt collector,Kadang saya miris mendapati customer kartu kredit yang lugu,tak tahu menahu kalau kartu itu dipakai ada bunga yang cukup tinggi menanti.Mereka dengan santainya menggunakan kartunya,sampai hutang menumpuk dan harus berurusan dengan debt collector.Kalau customer yang cuek bleh sich jangan ditanya lagi,malah banyak juga yang ibarat “maling”,sampai-sampai debt collector saja kehilangan jejaknya.

Dan Alhamdulillah,selama ini apapun keinginan ataupun benar-benar kebutuhan,saya selalu beli dengan tunai.Triknya adalah dengan rajin menabung.Apapun keinginan saya,saya pastikan harus sesuai dengan kantong.Jangan sampai besar pasak daripada tiang.Ternyata suamipun berprinsip sama.Kami selalu takut berhutang,apalagi berurusan dengan bank,kecuali memang benar-benar kepepet,hikss.Jadi hidup kami bisa dilihat ya biasa saja.Jadi teringat salah satu postingan di grup whatsapp yang menjadi warning bagi saya,cekidot….

Copas sebelah
MANUSIA-MANUSIA TANPA HUTANG (CERITA 1)
Kawanku di Jakarta hijrahnya gak tanggung-tanggung, rumahnya yang masih KPR dijual, Honda Jazz putih yang dulu perlente dipakainya pun dijual. Sekarang tinggal di rumah kontrakan, memulai bisnis baru yang sangat berbeda dengan bisnisnya yang dulu.
"Sap, ketika aku menjual semua asetku dan hutangku lunas, ada perasaan plong di hati yang tidak ternilai, bangun pagi rasanya bebasssss... Tak ada sedikitpun mikiran cicilan ini itu lagi. Sebulan kalo dapat uang 20jt, duitnya ya utuh, kebutuhan keluarga paling 5 juta dah cukup.. Gak ada lagi kertas-kertas tagihan dengan nominal dan beban bunga yang bikin nyesek! Dan Allah tidak pernah ingkar janji.. Aku bisa memulai bisnis lagi, bangkit lagi, tanpa harus hutang disana-sini"
Senyumnya begitu lepas.. Tanpa beban.

Kawanku lainnya di Jogja, pengusaha advertising memilih tak pernah tanda tangan apapun dengan surat hutang. Mobil sudah ada dari kantor untuk operasional, wira wiri dia masih setia naik motor, kalo ku goda
"wis dadi boss mbok numpak mobil Mas"
jawabnya cukup sesederhana ini:
"ah Valentino Rossi yang kaya raya aja naik motor kok"

Penghasilannya sebagai pemilik bisnis, penulis buku, dan inspirator di berbagai seminar tentu gampang kalo untuk datang ke dealer, tanda tangan surat hutang, DP 30% dan langsung bawa pulang Innova pun bisa. Tapi itu tidak dilakukannya.. Tetap naik motor, tapi kemarin beli iPhone 6plus harga 14 juta pun cash, beli MacBook puluhan juta pun cash, iPad malah ada yang ngasih.

"Mas aku mau beli rumah nih, tapi cash gak  mau hutang.. Sekarang terus ngumpulin uang, ketemu yang cocok bayar.."

"Enak lho gak punya hutang, sholat juga tenang, gak kemrungsung, naik motor juga woles aja tuh.. Gak takut dikuntit debt colector, di rumah juga santai gak ada penagih hutang gedor-gedor rumah" lanjutnya
Mmmm.. Gitu yaa
Ada lagi anak muda yang baru kukenal di Jogja, bisnisnya baru dua tahun tapi tumbuh luar biasa, bangkrut di bisnis jualan jus usai jadi sarjana, sempat galau lalu bangkit dengan bisnis ayam gepreknya. Join dengan kawannya, kerja bareng-bareng memulai usaha, fokus, tekun, gak neko-neko.. Sekarang sehari omzetnya tembus 13-15 juta. Kutanya langsung isi dapurnya, dengan omzet segitu sebulan dapat profit bersih berapa?
"Alhamdulillah mas, bulan kemarin bersih dapat 97 juta"
Wow!!!
"Kalian punya hutang di bank?" Tanyaku
"Sejak awal bisnis kami tidak pernah berhutang, setiap ada untung kami gak ambil, diputer terus, digulung terus, puter lagi, sampai sekarang punya 3 cabang. Kami ingin fokus di bisnis mas, bukan di hutang..."

Anak muda dengan profit nyaris 100jt sebulan itu tetap naik motor ketika berlalu dari hadapanku..
Wahai.. Wahai..
Wahai dirimu yang masih berprinsip hutang itu mulia, numpuk hutang disana-sini, bangga banget dengan aset hutangan yang dipamerkan di semua sosmed, agar dapat label "sudah saksesss!!" dari kawan dan orang sekitar,
inget... kalo engkau tidak mampu membayar hutang akan masuk kategori gharim..
Layak dan berhak dizakati..
Mendapat bagian 2,5% dari harta orang lain seperti fakir miskin.
Mau?

Dan aku jadi saksi, ketika berkeliling kota-kota bertemu dengan banyak pengusaha yang dulu bangga dengan aset-asetnya, sekarang datang dengan wajah murung dalam jeratan hutang tak berkesudahan..
Masih mau terus hidup dalam kepalsuan?
@Saptuari

Friday 1 July 2016

SAUDARA VS PERSAUDARAN



Jika ada yang bertanya, adakah  kaitan antara *saudara* dan *kebahagiaan*.
jawabannya mungkin akan mengagetkan:
*tidak ada kaitannya*.
Saudara tidak akan membuat kita bahagia. *Yang membuat kita bahagia* adalah persaudaraan.
Saudara adalah orang-orang yang terhubung dengan kita karena pertalian darah, *berdimensi fisik.*
Sementara persaudaraan adalah orang-orang yang terhubung dengan kita karena pertalian hati, *berdimensi spiritual.*
Jika menilik sejarah, banyak kejahatan yang dilakukan oleh saudara kepada saudaranya sendiri.
Kisah pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia, antara *Qabil dan Habil*, dilakukan oleh saudara atas saudaranya sendiri.
Begitu pula dalam kisah konspirasi saudara-saudara Nabi Yusuf untuk melenyapkannya.
Jika dalam kasus Qabil dan Habil berlaku *kejahatan oleh saudara one-on-one*.
Dalam kisah Nabi Yusuf yang terjadi adalah *persekongkolan jahat berkelompok oleh sesama saudara lebih dari satu orang*.
Kisah-kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa saudara yang bertali secara darah *(fisik)* bisa menjadi musuh saat tidak ada pertalian hati *(spiritual).*
*Ada 4 tipe manusia dalam konteks saudara dan persaudaraan* :
1. Saudara yang menunjukkan persaudaraan.
*Inilah surga.*
2. Bukan saudara namun menunjukkan persaudaraan.
*Ini adalah kebahagiaan (happiness)*
3. Bukan saudara dan tidak menunjukkan persaudaraan.
*Ini disebut ketidakbahagiaan (unhappiness)*
4. Saudara tapi tidak menunjukkan persaudaraan.
*Inilah neraka.*
Jika ada orang yang bukan saudara dan dia tidak menunjukkan persaudaraan kepada kita, kita bisa dengan mudah menghindarinya.
*Kita bisa memilih komunitas lain tanpa harus bertemu dengannya.*
Namun akan lebih berat bagi kita jika yang tidak menunjukkan persaudaraan itu adalah saudara kita sendiri.
Disinilah kita perlu memaknai setiap kondisi yang kita hadapi agar tidak mengalihkan kita dari kebahagiaan.
Kepada mereka yang tidak menunjukkan persaudaraan, kita bisa memaknainya sebagai cara Tuhan untuk menjadikan diri kita agar menjadi manusia yang lebih baik.
Hilangnya rasa persaudaraan dari saudara kita tidak boleh menjadi penghalang bagi kita untuk merayakan setiap momentum dalam hidup kita.
Lantas, apa yang dibutuhkan untuk memunculkan rasa persaudaraan khususnya antara sesama saudara ?
Kata kuncinya adalah *connectedness*, rasa terhubung satu sama lain, rasa bahwa kita adalah satu tubuh.
Disaat ada bagian dari tubuh kita yang sakit, *maka seluruh tubuh akan merasakannya*.
Demikian pula sebaliknya, saat bagian tubuh yang sakit itu pulih, *seluruh tubuh merasakan kesegaran.*....
WA Group adalah salah satu upaya untuk  menyatukan hati.
*Ada 2 ciri connectedness* :
# Kita merasa senang jika saudara kita mendapatkan kebaikan, dan kita merasa sedih saat saudara kita mendapatkan keburukan.
*Inilah yang dianalogikan sebagai satu tubuh*.
# Kita selalu berhubungan dengan saudara kita meski kita sedang tidak membutuhkannya, *silahturahmi*.
*Semoga bisa jadi inspirasi agar bisa menjadi saudara yg baik dan menjaga persaudaraan....*

Wanita,Karir dan Syar'i

Baru-baru ini saya dapat postingan dari grup whatsapp,tentang perempuan.Menarik bagi saya,ada benarnya yang diutarakan.Tapi saya rasa apapun sikap dan kelakuan pasangan kita kepada kita ( semisal KDRT, selingkuh ) jangan sampai kita sebagai perempuan tidak menegakkan apa yang sudah diperintahkan Allah dalam Al Qur'an ataupun hadist.

Berpakaian syar'i dan menjadi wanita karir adalag topik yang menarik.Sayapun belum bisa berpakaian syar'i,walau sudah berusaha tidak berpakaian ketat dan membentuk tubuh serta menutup dada dengan jilbab yang lebih panjang.Tapi saya belum bisa selalu memakai gamis,masih suka memakai celana panjang.

Begitu juga dengan wanita bekerja diluaran,sebenarnya dari kajian-kajian yang pernah saya baca adalah takutnya wanita itu bekerja di luar rumah akan menimbulkan fitnah dan tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga terabaikan,dan terutama lagi adalah suami mengijinkan.Apalagi berkarir sebagai perawat,dokter atau bekerja yang banyak membantu orang banyak,tentu lebih bermanfaat bukan? 

Dan ini postingannya,dari Nadirsyah Hosen... Cekidot :


Sejumlah penceramah sangat terobsesi untuk "men-syariatkan" para perempuan. Pendek kata, setiap upaya menegakkan syariat Islam, perempuan selalu menjadi target. Seolah perempuan itu selalu keliru dan karenanya harus diluruskan: dari mulai caranya berpakaian agar sesuai syariat, caranya patuh pada suami agar sesuai syariat dan kini yang dijadikan trending topik adalah larangan perempuan keluar rumah plus larangan bekerja meniti karir di luar rumah.


Dalam benak para penceramah itu perempuan adalah sumber malapetaka dan sumber problem umat. Kalau kita berhasil kembali meng-islamkan para perempuan sesuai syariat maka selamatlah umat ini. Seakan bagi para penceramah para perempuan itu harus sedemikian rupa diproteksi secara syar'i karena perempuan itu lemah dan bodoh tidak bisa memilah mana yang benar dan yang salah serta amat mudah tergoda kemaksiatan. Maka para penceramah berusaha mengurung para perempuan lewat hijab syar'i, pernikahan dini atau dijodohkan, bagaimana menjadi isteri yang shalihah, dan bagaimana mengurus dapur.
 

Ini tahun 2016, dan para penceramah itu masih saja mengusung paham abad pertengahan. Mereka lupa bagaimana perempuan sekarang sudah bersekolah dan pandai mencari peran untuk membantu keuangan keluarga maupun berkontribusi di masyarakat.


Perempuan memiliki berbagai peran dalam berbagai level: ada yang memilh menjadi ibu rumah tangga, dan ada pula yang memilih karir sebagai guru/dosen, dokter, direktur, walikota, menteri atau bahkan presiden. Pendek kata, perempuan berhak menentukan dan memilih perannya.

Sesuai syariat-kah itu? Iya, tentu saja, kalau para lelaki bersedia berbagi peran dengan cara meng-update pemahamannya tentang syariat. Kalau para lelaki hendak menjadikan istrinya semulia Khadijah, sudahkah para lelaki berusaha ber-akhlak seperti Muhammad SAW? Kalau lelaki menuntut perempuan menjadi shalihah, sudah yakinkah para lelaki kalau sudah duluan masuk kategori orang shaleh?

Anda suruh mereka pakai hijab syar'i, tapi anda sendiri kaum lelaki sudahkah menjaga dan menundukkan pandangan anda kepada perempuan yang bukan hak anda?
Anda suruh mereka diam dan tinggal di rumah, tapi sudahkah anda bawa pulang nafkah yang cukup untuk keluarga?
Anda minta mereka mendidik anak-anak anda di rumah, tapi sudahkah anda beri kesempatan mereka meningkatkan ilmunya agar mampu mendidik anak dengan baik?

Anda suruh mereka patuh pada suami, tapi sudahkah anda juga patuh pada Allah yang befirman "dan bergaullah kamu semua dengan mereka (isteri-isteri kamu itu) dengan cara yang baik. Kemudian jika kamu tidak suka kepada mereka (disebabkan tingkah lakunya (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (QS. An Nisa [4]: 19) ?

Anda minta mereka menjaga kehormatan diri mereka saat anda pergi, namun sudahkah anda menjaga kehormatan diri di luar rumah?

Sudahkah anda berterima kasih pada mereka atas apa yang telah mereka sajikan dan apa yang mereka persembahkan untuk anda dan keluarga demi sama-sama mencari Ridha ilahi?
Sudahkah anda meminta maaf kepada mereka kalau anda berbuat khilaf? Atau anda termasuk lelaki yang gengsi meminta maaf?

Sudahkah anda meminta doa dari istri untuk kemudahan dan kesuksesan anda? Atau anda termasuk yang gengsi meminta doa karena merasa anda lebih paham agama?

Mereka bisa berperan menjadi Khadijah, atau Aisyah atau Hafsah dan juga Zainab (para istri Nabi), tapi sudahkah anda menjadi Muhammad SAW untuk mereka?


Salam hangat untuk sesama lelaki,
Nadirsyah Hosen