From Allah to Allah: Rezeki Itu Milik Allah
by Leila Hana
"Saya nggak mau jadi ibu rumah tangga saja. Kalau suami
meninggal atau kita bercerai, gimana? Siapa yang3 kasih makan saya dan
anak-anak? Istri itu harus mandiri finansial supaya bisa punya uang
untuk jaga-jaga kalau ada apa-apa dengan suami."
Seketika, kalimat itu buyar kala saya berhadapan dengan
seorang wanita berusia 47 tahun yang datang ke rumah saya untuk mengisi
pengajian. Wanita bersahaja itu datang jauh-jauh, cukup jauh dari
komplek perumahan tempat tinggal saya, untuk memberi pengajian secara
gratis. Ingat, gratis lho.... Nggak ada bayaran sepeser pun kecuali
sajian makan siang yang saya berikan. Dia datang untuk menggantikan guru
ngaji saya yang berhalangan. Sambil menunggu teman-teman lain, kami
ngobrol-ngobrol.
"Coba tebak, anak saya berapa, Bu?" tanyanya, ketika kami
sedang ngobrol soal anak-anak. Saya sedikit mengeluhkan kondisi rumah
yang berantakan karena anak-anak nggak bisa diam, lalu dia memaklumkan.
Namanya juga anak-anak. Dia sudah berpengalaman karena anaknya lebih
banyak dari saya.
"Ehm... empat?" (pikir saya, paling-paling cuma selisih satu).
"Masih jauh...."
"Tujuh...."
"Kurang... yang benar, delapan."
Mata saya membelalak. Masya Allah! DELAPAN?!
"Itu masih kurang, Bu. Ustazah Yoyoh (almarhumah Yoyoh Yusroh, mantan anggota DPR) saja anaknya 13. Jadi, saya ini belum ada apa-apanya," katanya, merendah.
"Ehm... empat?" (pikir saya, paling-paling cuma selisih satu).
"Masih jauh...."
"Tujuh...."
"Kurang... yang benar, delapan."
Mata saya membelalak. Masya Allah! DELAPAN?!
"Itu masih kurang, Bu. Ustazah Yoyoh (almarhumah Yoyoh Yusroh, mantan anggota DPR) saja anaknya 13. Jadi, saya ini belum ada apa-apanya," katanya, merendah.
Setelah itu, mengalirlah cerita-ceritanya mengenai
anak-anaknya sampai teman-teman saya datang dan acara mengaji pun
dimulai. Di sela pengajian, wanita itu bercerita mengenai keluarganya.
Dari situ saya baru tahu kalau suaminya sudah meninggal dunia! Meninggal
karena kecelakaan motor, meninggalkan istri dan delapan anak, yang
terkecil berusia 2,5 tahun dan sang istri, ya... wanita itu... seorang
IBU RUMAH TANGGA.
Ibu rumah tangga di sini maksudnya nggak kerja kantoran,
tapi juga bukan pengangguran. Beliau aktif mengisi pengajian. Lalu,
bagaimana kehidupannya setelah suaminya meninggal? Beliau nggak punya
gaji, nggak kerja kantoran. Coba, gimana? Apa beliau lalu sengsara dan
anak-anaknya putus sekolah? No. no, no....
Kalau saya mengingat kalimat pembuka di atas kok kayaknya
mustahil ya seorang ibu yang nggak bekerja dan suaminya meninggal dunia,
bisa bertahan hidup dengan delapan anak dan anak-anaknya bisa tetap
kuliah. Mustahil itu... NGGAK MUNGKIN!
"Bagi Allah, nggak ada yang nggak mungkin, Bu. Asal kita
percaya sama Allah. Allah yang kasih rezeki, kan? Percaya saja sama
Allah. Saya cuma yakin bahwa semua yang saya dapatkan selama ini adalah
karena kebaikan-kebaikan saya dan suami semasa hidup. Saya cuma berbagi
pengalaman ya, Bu, bukan mau riya. Memang, suami saya dulu itu orangnya
pemurah. Kalau ada yang minta bantuan, dia akan kasih walaupun dia
uangnya pas-pasan. Alhamdulillah, Allah kasih ganti. Sewaktu suami masih
hidup, kami hidup sederhana. Rezeki suami itu dibagi ke orang-orang
juga, padahal anak kami ada delapan. Suami nggak takut kekurangan....."
Kami menahan napas.....
"Hingga suami saya meninggal dunia... uang duka yang kami
dapatkan itu... Masya Allah... jumlahnya 100 juta. Padahal, suami saya
itu biasa-biasa saja, bukan orang penting. Uang itu langsung dibuat
biaya pemakaman, tabungan pendidikan anak, dan sisanya renovasi rumah
yang mau ambruk."
Dengar uang 100 juta dari uang duka saja, saya sudah kagum.
"Saat renovasi rumah, saya serahkan saja ke tukangnya. Dia
bilang, uangnya kurang. Saya lillahi ta'ala saja. Yang penting atap
rumah nggak ambruk, karena memang kondisinya sudah memprihatinkan.
Khawatirnya anak-anak ketimpa atap....."
Saya membayangkan, keajaiban apa lagi yang didapatkan oleh wanita itu?
"Nggak disangka. Begitu orang-orang tau kalau saya sedang
renovasi rumah, mereka menyumbang. Bukan ratusan ribu, tapi puluhan
juta! Sampai terkumpul 100 juta lagi dan rumah saya seperti bisa dilihat
sekarang.... Sampai hari ini, saya masih dapat transferan uang dari
mana-mana, Bu-Ibu. Saya nggak tau dari siapa aja karena mereka nggak
bilang. Saya juga udah nggak pernah beli beras lagi sejak suami
meninggal. Selalu ada yang kasih beras."
Duh, nggak bisa nahan airmata deh jadinya....
Apa rahasianya?
"Berbuat baik kepada siapa saja, sekecil apa pun. Insya Allah ada balasannya. Rezeki itu milik Allah. Kalau Allah berkehendak, Dia akan kasih dari mana pun asalnya...." tutupnya.
Rezeki itu milik Allah, siapa pun tidak boleh takabur.
Bekerja bukanlah sarana menyombongkan diri bahwa hidup kita bakal
terjamin karena bekerja. Yang menjamin hidup kita adalah Allah. Bekerja
diniatkan untuk ibadah. Pembuka rezeki bisa datang dari mana saja, salah
satunya dari berbuat kebaikan sekecil apa pun.
Ucapan, "Kalau suami meninggal atau bercerai, siapa yang
kasih makan saya dan anak-anak?" itu sama saja dengan sirik, atau
menduakan Allah.
Menganggap diri kita super, dengan kita bekerja, maka
rezeki terjamin. Padahal, Allah yang kasih rezeki. Jika dulu Allah kasih
rezeki melalui suami, besok Allah kasih lewat jalan lain. From Allah to
Allah.
Smg bermanfaat...
Smg bermanfaat...