Tuesday, 18 August 2015

Manusia Indonesia





Oleh Sarlito Wirawan Sarwono*.

Beberapa waktu yang lalu, ketika melintasi jalan Kapten Tendean, Jakarta, yang sedang direnovasi, saya terkejut ketika melihat salah satu backhoe (alat berat penggali tanah) bermerek “Samsung” (Korea), karena selama ini yang saya ketahui Samsung adalah produser HP, smartphone, gadget dan barang-barang elektronik, yang sudah jauh menggusur posisi Sonny dan Nokia (Jepang), tetapi bukan produsen alat-alat berat. Tetapi bukan itu saja, di Indonesia para Korea ini sudah mulai menggusur Jepang di bidang kuliner (Resto Korea versus Resto Jepang), budaya pop (K-pop, Gangnam style, Boys band, Sinetron Korea dll), dan otomotif (“H” dari Hyundai versus “H” dari Honda). Padahal Korea pernah “dijajah” Jepang (1876-1945) dan orang Korea punya dendam kesumat kepada orang Jepang. Tetapi dendam itu tidak dibalaskan dengan perang lagi atau agresi politik, melainkan dengan kerja keras yang menghasilkan prestasi di bidang teknologi, ekonomi dan budaya. Dalam waktu 70 tahun kita sama-sama melihat hasilnya.
Indonesia juga pernah dijajah Jepang, tidak lama, hanya 3½ tahun, tetapi rakyat sangat menderita selama masa penjajahan yang singkat itu. Anehnya, walaupun akhirnya Jepang kalah Perang Dunia II dan Jepang diwajibkan membayar pampasan perang kepada Indonesia, setelah 70 tahun Indonesia tidak berhasil mengimbangi Jepang hampir di segala bidang. Malah di tahun 1974 terjadi peristiwa Malari (15 Januari), saat mahasiswa dan massa membakari mobil-mobil bermerk Jepang. Orang Indonesia bukannya bekerja lebih giat untuk menyaingi Jepang, tetapi menyalahkan dan menyerang si pesaing. Dalam psikologi mentalitas seperti ini disebut “ekstra-punitif” (menghakimi pihak lain) yang bersumber pada “pusat kendali eksternal” (external locus of control).

Menurut teori Pusat Kendali (locus of control: J.B. Rotter, 1954), ada dua macam tipe manusia, yaitu yang Pusat Kendalinya Internal dan Eksternal. Orang dengan Pusat Kendali Internal (PKI) percaya bahwa dirinya sendirilah yang menentukan apa yang akan terjadi dengan dirinya, bahkan lingkungan di sekitarnyapun bisa dia kendalikan sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan orang dengan Pusat Kendali Eksternal (PKE) jika terjadi sesuatu, cenderung menyalahkan pihak lain, bukannya mengoreksi diri sendiri.

Sebagian besar orang Indonesia, menurut hemat saya, tergolong PKE. Bukan hanya dalam kasus Malari, tetapi hampir pada setiap peristiwa sehari-hari. Kalau dalam Pilkada ada calon Bupati/Walikota yang dinyatakan gugur karena tidak memenuhi persyaratan maka kantor KPU-nya dibakar. Kalau kebanjiran menyalahkan pemerintah, kalau kekeringan minta bantuan pemerintah. Si pemerintah juga lebih senang menyalahkan alam yang tidak bersahabat. Bahkan ketika perekonomian nasional mengalami perlambatan seperti sekarang ini, para menteri di pemerintah pusat lebih senang menyalahkan faktor-faktor luar negeri (menggiatnya perekonomian dan kenaikan suku bunga di AS dll), ketimbang merekayasa perekonomian dalam negeri untuk mendongkrak laju perekonomian nasional. Pengendara motor yang melawan arus, ketika ditangkap polisi, akan membantah, “Lho, tiap hari saya lewat sini. Ada polisi, tetapi tidak pernah diapa-apakan. Kok sekarang saya mau ditilang?”

Salah satu dampak dari sifat bangsa Indonesia yang PKE ini adalah mencari jalan pintas. Tidak punya ijasah, ya beli ijasah Aspal saja. Mau menang Pilkada, beli suara. Mau main di pengadilan beli hakimnya. Kalau tidak bisa dibeli, liwat kekerasan. Termasuk Tuhan pun dijadikan faktor yang dijadikan sarana untuk mencapai sesuatu. Ingin lulus Ujian Nasional, sholat Istigozah rame-rame. Demo anti kenaikan harga BBM, teriak “Allahu Akbar”. Tetapi karena Tuhan tidak bisa dibeli, maka yang menikmati (yang terima duit) adalah para pemain di balik agama, termasuk para da’i komersial (yang sering masuk TV dan honor tausyiahnya 10 kali lipat dari ceramah profesor), Biro perjalanan Haji dan Umroh, dan para pemain politik yang menggunakan agama sebagai kendaraannya.

Akhir-akhir ini bahkan makin kuat kecenderungan untuk lebih menuhankan agama ketimbang menuhankan Tuhan (Allah) itu sendiri. Agama sudah dianggap jauh lebih penting daripada negara, pemerintah, bendera dan lagu kebangsaan, kewarganegaraan, dsb.
Kalau Kartosuwiryo yang memproklamasikan NII (Negara Islam Indonesia) di tahun 1949 (isterinya tidak berjilbab), masih mencita-citakan sebuah negara yang bernama Indonesia, JI (Jamaah Islamiah) dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) tidak lagi mempersoalkan wilayah, dia maunya seluruh dunia adalah Daulah Islamiah, yang dipimpin oleh seorang Amir atau Khalifah saja. Berita mutakhir, ISIS telah mengeksekusi 19 perempuan yang menolak bersetubuh dengan para pejuangnya, atas nama agama, atas nama Daullah Islamiah. Padahal Allah sendiri tidak pernah mengatakan begitu. Bukankah ini menuhankan agama lebih dari pada menuhankan Allah itu sendiri? Apa namanya kalau bukan musyrik?

Dampak yang serius dari mentalitas PKE adalah orang jadi malas kerja. Orang PKE yang tidak berorientasi agama memilih hidup hedonis, mumpung muda hura-hura, tua foya-foya, mati masuk alam baka (surga atau neraka? Emang gue pikirin?). Mereka terlibat Narkoba, seks berisiko, kenakalan dan kriminal untuk memenuhi kebutuhan hedonisnya. Sementara PKE yang orientasinya agama lebih rajin berdoa (rukun Islam tidak pernah terlambat, termasuk berumroh berkali-kali), tetapi tetap enggan bekerja serius. Bahkan mereka pikir tidak apa-apa sedikit bermaksiat juga, karena mereka pasti sudah diberi pahala dan ampun oleh Allah yang Maha Pengampun, karena ibadah mereka sudah berpuasa yang pahalanya lebih dari seribu bulan dan sudah sholat Arbain di Medinah, yang pahalanya entah berapa juta kali lipat dibandingkan shalat di masjid lain. Itulah sebabnya Indonesia tidak pernah lepas dari korupsi dan maksiat, walaupun mayoritas penduduknya adalah muslim terbanyak di dunia.   Itulah sebabnya Indonesia tidak pernah lepas dari STMJ (Sholat Terus, Maksiat Jalan).

Padahal Indonesia sedang dalam era Bonus Demografi (2010-2045), yaitu saat penduduk usia produktif (15-64 tahun) berjumlah dua kali lipat dari penduduk non-produktif. Para pakar menamakannya peluang emas untuk menggenjot kemajuan di segala bidang, guna menyejahterakan dan memakmurkan bangsa, khususnya karena negara-negara lain sudah meliwati masa ini bertahun-tahun yang lalu (negara-negara maju seperti Kanada dan AS sudah mengimport imigran untuk mengisi kekurangan tenaga kerja mereka) dan Indonesia sendiri akan kehilangan peluang itu juga pasca 2045. Peluang emas inilah yang ingin direbut oleh Presiden Jokowi dengan seruannya “Kerja, kerja, kerja!!!”. Maka kabinetnya pun dinamakan Kabinet Kerja. Tetapi kalau bangsa Indonesia lebih suka berhura-hura atau hanya berdoa saja, jangan-jangan hingga tahun 2045 (100 tahun setelah kemerdekaan), Indonesia bukannya menandingi Korea atau Tiongkok (Cina) melainkan makin terpuruk. Naudzubillah min dzalik.
* Guru Besar Psi UI.

No comments:

Post a Comment