Apa itu generasi “HOME SERVICE?” Generasi “HOME SERVICE”
adalah generasi yang selalu minta dilayani. Ini terjadi pada anak-anak
yang hidupnya selalu dilayani oleh orangtuanya atau orang yang
membantunya. Mulai dari lahir mereka sudah diurus oleh pembantu, atau
yang punya kekayaan berlebih diasuh oleh Babysitter yang setiap 24 jam
siap di samping sang anak. Kemana-mana anak diikuti oleh babysitter.
Bahkan sampai umur 9 tahun saja ada Babysitter yang masih mengurus
keperluan si anak karena orangtuanya sibuk bekerja. Anak tidak dibiarkan
mencari solusi sendiri. Contoh kecil saja, membuka bunkgus permen yang
akan dimakan anak. Karena terbiasa ada babysitter atau ART, anak dengan
mudahnya menyuruh mereka membukakan bungkusnya. Tidak mau bersusah payah
berusaha lebih dulu atau mencari gunting misalnya.
Contoh lain memakai kaus kaki dan sepatu. Karena tak sabar
melihat anak mencoba memakai sepatunya sendiri maka orang dewasa yang di
sekitarnya buru-buku memakaikan kepada anak. Saat anak sudah bisa makan
sendiri, orangtua juga seringkali masih menyuapi karena berpikir jika
tidak disuapi makannya akan lama dan malah tidak dimakan. Padahal jika
anak dibiarkan tidak makan, maka anak tidak akan pernah merasa apa
namanya lapar. Dan saat lapar datang seorang anak secara otomatis akan
memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Bagaimana dia akan belajar makan
sendiri jika dia tidak pernah merasakan apa itu namanya lapar? Bagaimana
dia akan belajar membuat minuman sendiri jika dengan hanya memanggil
ART atau babysitter atau orangtuanya saja minuman itu akan datang
sendiri kepadanya.
Saya mengutip perkataan seorang Psikolog dari Stanford
University, Carol Dweck, beliau menulis temuan dari eksperimennya dalam
buku The New Psychology of Success, , “Hadiah terpenting dan terindah
dari orangtua pada anak-anaknya adalah tantangan”. Tapi beranikah semua
orangtua memberikan hadiah itu pada anak? Faktanya saat ini banyak
orangtua yang ingin segera menyelesaikan dan mengambil alih masalah
anak, bukan memberikan tantangan. Saat anak bertengkar dengan temannya
karena berebut mainan, orangtua malah memarahi teman anaknya itu dan
membela sang anak. Ada pula yang langsung membawanya pulang dan bilang,
”udah nanti Ibu belikan mainan seperti itu yang lebih bagus dari yang
punya temanmu..gak usah nangis”.
Padahal Ibu tersebut bisa mengatakan, “Oh kamu ingin mainan
seperti yang punya temanmu ya? Gak usah merebutnya sayang… kita nabung
dulu ya nanti kalau uangnya sudah cukup kita akan sama-sama ke toko
mainan membeli mainan yang seperti itu”. Kira-kira bagaimana jika Ibu
mengatakan demikian? Ada tantangan yang diberikan pada anak bahwa untuk
mendapatkan sesuatu yang dia ianginkan maka dia harus berusaha untuk
menabung dulu. Tidak lantas mengambil alih bahwa everything oke…ada Ibu
dan ayah disini yang akan mengatasi segala masalahmu nak.
Dalam keseharian Generasi “HOME SERVICE “ semua pekerjaan
rumah tangga tak pernah melibatkan anak. Saat anak membuat kamarnya
berantakan langsung memanggil asisten untuk segera merapihkan kembali.
Anak menumpahkan air di lantai, di lap sendiri oleh Ibunya. Anak
membuang sampah sembarangan, dibiarkan saja menunggu ART menyapu nanti.
Dalam hal belajar saat anak sulit belajar, orangtua telpon guru les
untuk privat di rumah. Dalam hal bersosialisasi saat anaknya nabrak
orang sampai mati di jalan karena harusnya belum punya SIM malah sudah
bawa kendaraan sendiri. Orangtuanya langsung menyuap polisi agar anaknya
tidak diperkarakan dan dipenjarakan. Beres kan…hidup ini tidak susah
nak…selama orangtuamu ada di sampingmu. Iya kalau orangtuanya kaya
terus…iya kalau orangtuanya hidup terus…semua kan tak pernah bisa kita
duga. Generasi inilah yang nantinya akan melahirkan orang dewasa yang
tidak bertanggungjawab. Badannya dewasa tapi pikirannya selalu
anak-anak, karena tak pernah bisa memutuskan sesuatu yang terbaik buat
dirinya. Mau gimana lagi? Memang dididiknya begitu…Sekolah yang carikan
orangtua. Jodoh yang carikan orangtua. Rumah yang belikan orangtua,
Kendaraan yang belikan juga orangtua. Giliran punya cucu yang mengasuh
dan jadi pembantu di rumahnya juga ya si orangtuanya. Kasian banget
ya…sudah modalin banyak ternyata orangtua tipe begini hanya akan
berakhir jadi kacung di rumah anaknya sendiri. Maaf kalau saya
menggunakan istilah ‘kacung” karena saya betul-betul prihatin kepada
orangtua yang terlalu menjadi pelindung bagi anaknya, bahkan nanti buat
cucunya juga. Kapan bisa mandirinya tuh anak.
Sahabat Nabi Ali Bin ABi Thalib RA sudah memberikan panduan
dalam mendidik anak : “Ajaklah anak bermain pada tujuh tahun pertama,
disiplinkanlah anak pada tujuh tahun kedua dan bersahabatlah pada anak
usia tujuh tahun ketiga.” Jadi anak umur 7 tahun ke bawah memang dididik
sambil bermain. Berikan tanggungjawab pada mereka meski masih harus
didampingi seperti misalnya mandi sendiri, membereskan mainan, makan
sendiri, membuang sampah dll. Untuk anak usia 7 sd 14 tahun mulailah
mendisiplinkannya. Misalnya menyuruhnya shalat tepat waktu, belajar
berpuasa, mengerjakan PR sepulang sekolah, menyiapkan buku untuk esok
pagi, membantu mencuci piring yang kotor, menyapu halaman rumah dll.
Apabila anak umur 7 sd 14 tahun itu tidak melakukan kewajibannya maka
perlu diingatkan agar dia menjadi terbiasa dan disiplin.
Untuk anak usia 14 sd 21 tahun maka orangtua harusnya bisa
bersikap sebagai sahabat atau teman akrab. Orang tua perlu menolong anak
untuk belajar bagaimana menggunakan waktunya, dan mengajari anak
tentang skala prioritas. Dalam hal ini terkadang orangtua sering merasa
kasihan. Karena semakin besar usia anak, maka semakin sibuk dia dengan
kegiatan akademiknya. Anak ikut les ini dan itu, kegiatan
ekstrakulikuler yang menyita waktu, kerja kelompok dll. Merasa anaknya
tidak punya waktu, lalu orang tua, membebaskan anak dari pekerjaan rumah
tangga. Padahal skill yang terpenting dalam kehidupan itu bukan hanya
dari sisi akademik saja tapi bagaimana dia menghadapi rutinitas yang ada
dengan segala keterbatasan waktunya.
Anda yang sudah menjadi orangtua pasti merasakan bagaimana
seorang Ibu harus membagi waktunya yang hanya 24 jam itu untuk bisa
mengelola sebuah rumah tangga. Pekerjaan yang tiada habisnya. Pekerjaan
mencuci baju, menyetrika, membereskan rumah mungkin bisa minta orang
lain melakukannya. Memasak juga bisa membeli yang sudah jadi, tapi jam
mengasuh anak tidak ada habisnya bukan? Apalagi jika di rumah tidak ada
asisten karena sekarang ART semakin langka, jika pun ada gajinya minta
selangit. Belum lagi banyak ketidakcocokkan. Udah bayar mahal, ngeyel,
minta banyak libur, gak rapih juga kerjanya. Bikin emosi jiwa saja ya ?
He..he…he…
Karena itu sebelum anda menjadi depresi sendirian, maka
libatkanlah anak anak dalam pekerjaan rumah tangga. Saya pernah membaca
sebuah artikel yang meliput tentang sebuah keluarga di Indonesia yang
punya 11 anak tanpa ART dan sering traveling ke luar negeri. Manajemen
keluarganya TOP banget deh, dan kuncinya mereka melibatkan semua anaknya
untuk ambil bagian dalam berbagai pekerjaan rumah tangga. Ada yang
bertugas sebagai koki, menyetrika, mencuci, mengepel dll. Kompak banget
deh. Asyik kan bisa memberdayakan sebuah keluarga seperti itu. Tidak ada
yang meminta dilayani. Semua punya tugas dan tanggungjawab
sendiri-sendiri. Saya yakin ke 11 anak mereka kelak akan menjadi orang
dewasa yang bertanggungjawab, sukses dan mandiri.
Oh ya selain melibatkan anak-anak , faktor terpenting dalam
meniadakan GENERASI “HOME SERVICE “ adalah peran ayah dalam mengerjakan
perkerjaan rumah tangga. Di Indonesia masih banyak suami yang tidak mau
terlibat dalam pekerjaan rumah tangga. Seakan-akan pekerjaan rumah
tangga seperti mencuci, menyetrika, mengepel dll itu adalah aib buat
seorang suami. Padahal menurut hasil penelitian, keikutsertaan para
suami atau ayah dalam pekerjaan rumah tangga, berpengaruh positif
terhadap keutuhan dan keharmonisan keluarga loh. Berbagi pekerjaan dalam
rumah tangga antara suami dan istri tidaklah perlu dibuat jobdesknya
secara tertulis, tetapi buatlah semuanya sesuai dengan kesempatan yang
mereka punya. Karena jika dibuat jobdesk bisa membuat pertengkaran
apabila salah satu ada yang abai menyelesaikan pekerjaannya dan yang
lain tidak mau mengerjakan karena merasa itu bukan tugasnya. Ayah yang
menjadi contoh mengerjakan pekerjaan rumah tangga juga akan menjadi
teladan langsung bagi anak laki-lakinya bahwa pekerjaan rumah tangga itu
tak mengapa dilakukan seorang laki-laki.
Peran serta ayah dalam membantu pekerjaan rumah tangga
ternyata berdampak positif pada hubungan antara anak dengan ayahnya.
Rata-rata ayah yang terbiasa melakukan perkerjaan rumah tangga terbukti
sangat dekat dengan anaknya. Jika antara ayah dan anak sudah dekat maka
hubungan suami dan istri pun akan semakin harmonis. Pengalaman pribadi
nih, suami saya suka sekali membacakan buku buat anak kami sebelum
tidur. Itu membuat kedekatan emosi diantara keduanya terjalin sangat
dalam. Anak saya tak pernah berhenti memuja ayahnya. Ternyata hal itu
membuat saya makin mencintai suami karena dia memang sosok yang baik,
apalagi dia juga memang tidak segan membantu pekerjaan rumah tanpa saya
memintanya. Buat saya, suami yang mau melakukan pekerjaan rumah tangga
itu lebih macho dan ganteng dari actor sekaliber Brad Pitt atau Jason
Stanham dari Holywood. Betul gak??
Jadi sudah siapkah keluarga anda meniadakan GENERASI “HOME
SERVICE?” Yuk kita sama sama mulai dari sekarang demi kebaikan dan masa
depan anak-anak kelak. (Penulis: Deassy Marlia Destiani)
No comments:
Post a Comment