Jangan Latih Anak-anak Dijemput KBRI..!
Oleh: Rhenald Kasali
Mungkin kita semua sepakat, anak-anak yang pintar di sekolah belum tentu
pintar dalam kehidupan.
Sayangnya banyak orang tua yang masih berpikir, kalau anaknya juara
kelas, pintar di sekolah, pasti akan pintar menjalani hidup.
Untuk itulah sering kita lihat orang tua yang amat protektif, membuat
anak merasa sudah belajar walau itu hanya di sekolah. Sedangkan
perjalanannya menuju sekolah, pergaulannnya, kebiasaannya mengambil
keputusan dalam keadaan sulit, selalu disterilisasi orangtua.
Apalagi bila orang tua punya kuasa, banyak koneksi, punya uang, maka
semua itu akan distrerilisasi lebih luas lagi. Padahal yang membentuk
orang tuanya hari ini sukses sudah jelas: orangtua mereka tak
seprotektif mereka.
Kalau sudah begitu, apa hasilnya?
Anda lihat sendiri, banyak anak-anak pandai di sekolah tak berdaya saat
di-bully kawan-kawannya, kurang bergaul, dan bila dikejar anjing di
kampung, ia tidak bisa melompat, larinya tercekat.
Dan di usia dewasa, ia bisa menjadi sosok yang sulit bagi teman-teman,
pasangan dan kolega-koleganya. Ia akan merasa terus pandai, seakan-akan
kecerdasaannya tetap, tak berubah.
Ke Luar Negeri, Bagus
Pepatah mengatakan, dunia ini ibarat sebuah buku. Mereka yang tak
melakukan perjalanan (hanya kuliah saja), hanya membaca satu halaman.
Terilhami oleh Susi Pudjiastuti, saya pun menugaskan mahasiswa ke
mancanegara. Tidak main-main. Satu orang satu negara.
Menteri Kelautan dan Perikanan ini, sejak remaja sudah menyewa truk dari
kampungnya di Pangandaran, hanya bersama seorang sopir, ia pergi
membeli ikan ke Cirebon atau Indramayu, lalu berjualan ke Pasar Ikan di
Jakarta.
Bila dulu saya menugaskan tiga orang satu negara, sejak kehadiran Ibu
Susi di kelas itu, saya mengubahnya menjadi satu negara-satu orang.
Syaratnya, tidak boleh di antar, dan tak boleh ada yang menjemput.
Itupun harus pergi ke negara yang tak berbahasa Melayu.
Anda tahu siapa musuh program ini?
Para mahasiswa melaporkan, ada dua pihak. Pertama adalah orang tua yang
selalu beranggapan anaknya bak princess. Orangtua bahkan merespon dengan
negatif, takut anaknya kesasar. Padahal doktrin kelas itu sejak awal
sangat jelas, “Berpikir karena kesasar.”
Setiap kali orangtua protes, saya selalu bilang, “Memang kalau tersasar,
mengapa?”
Dari situ, sebagian tiba-tiba tersentak dan tertegun sendiri karena
hampir semua orangtua pasti pernah kesasar, dan toh akhirnya pulang juga
dengan selamat. Malah menjadi semakin pandai, lebih percaya diri.
Sebagian lagi, responsnya begitulah, memindahkan anaknya ke kelas lain.
Mereka mengambil keputusan untuk anaknya yang sudah dewasa dengan
menghentikan sebuah proses belajar yang penting untuk membangun hidup
mereka.
Orangtua juga mengatur banyak hal. Tiket pesawat, rute tujuan, menginap
di mana, siapa yang jemput, makan apa, pakaian dan perlengkapan, sampai
SIM Card dan obat-obatan.
Padahal anaknya gaul, sehat, senang berpetualang. Dan kalau diatur, ia
malah menjadi merasa tak dipecaya, bahkan malu dengan kawan-kawannya.
Bagi saya, ini semua bisa membuat anak kurang terlatih menghadapi
kesulitan. Sebab setiap kali menghadapi persoalan kecil saja, mereka
bisa menghindar dan cepat-cepat minta bantuan.
Dan musuh kedua adalah, para dosen sendiri. Ya, para akademisi percaya
anak pintar itu tak boleh banyak bermain. Baca, baca, baca, buat tugas.
Padahal anak-anak pintar itu terlalu serius, terlalu steril dan kurang
bermain.
Anda tahu apa yang dilakukan orangtua agar anak-anaknya diterima di
perguruan tinggi yang bagus?
Mungkin Anda bisa lihat bagaimana treatment orangtua sejak anaknya masih
kecil. Jangankan untuk menuju perguruan tinggi, untuk diterima di SMP
yang bagus saja, sejak kelas 5 SD anak-anak itu sudah dilatih pulang
sore/malam hari, ikut les ini dan itu. Katanya untuk diterima di SMP A
harus ikut bimbel di B.
Kalau sudah begitu, anak-anak yang pandai ini menjadi kurang bergaul dan
menjadi kurang asyik di mata teman-temannya. Mereka dicetak dalam alam
berpikir bahwa pandai dalam kehidupan itu ada di ruang kelas, melalui
program tertulis. Padahal pandai itu adalah mampu mengambil keputusan
yang tepat.
Bayangkan, bila sejak kecil sampai dewasa anak-anak itu tak pernah
berlatih mengambil keputusan dalam keadaan sulit. Bahkan untuk naik
taksi saja ia tak berani.
Pergi ke luar negeri seorang diri, bagi seorang anak ia akan belajar
banyak hal. Bagaimana kalau ketinggalan pesawat, kehilangan bagasi,
kesasar, diganggu orang, mengunjungi situs-situs penting, mengatur
waktu, makan, dan seterusnya.
Mengapa harus dijemput?
Kisah anak-anak pejabat yang orang tuanya begitu bernafsu mengatur dan
mengawal anak-anaknya agar tak kesasar di luar negeri, saat ini sudah
amat keterlaluan. Orang tua telah mengambil hak-hak penting si anak
untuk menjadi rajawali.
Anak diasumsikan sebagai sosok yang tak mampu bergerak sendiri, dan
seakan-akan alam tak memberi ruang bagi anak untuk belajar. Padahal,
anak SLB sekalipun punya kemampuan belajar yang luar biasa kalau diberi
kesempatan, dan sebaliknya kalau dianggap bodoh.
Mungkin anda sudah menerima catatan seorang dosen di Surabaya yang viral
dua hari ini. Sayang, saya tak menemukan sumbernya setelah beredar dari
satu WA ke WA lainnya. Tapi saya kira apa yang dilakukan untuk merekam
momen yang ia lihat dan catat harus kita hargai. Ini sebuah catatan yang
istimewa bagi para orangtua dan pendidik.
Ia mencatat kejadian saat menemukan seorang siswa SLB penderita
tunagrahita yang begitu bahagia saat menemukan alamat yang dicari. Siswa
itu kabarnya diberangkatkan dari Jogja untuk mencari alamat di
Surabaya.
"Syaratnya boleh bertanya, namun tidak boleh diantar, tidak boleh naik
kendaraan yang bersifat mengantar seperti taxi dan becak. Tidak boleh
meminta - minta. Dan masih banyak aturan lain Bahkan dia mencari tempat
sampah untuk membuang sampahnya." Catat orang berjasa ini.
Tapi yang membuat saya tercengang adalah catatannya yang ini: "Dia
berkata bahwa dia dilarang bersedih. "Kata pak Guru aku ngga boleh
sedih, kalau sedih nanti bodoh lagi", ucapnya polos."
Sekarang tinggallah kita memeriksa apa yang telah kita lakukan pada
anak-anak kita. Apakah benar kita telah melatih anak-anak kita untuk
menjadi pemimpin yang hebat, rajawali yang matanya tajam dan mampu
terbang tinggi, atau menjafikan mereka burung dara yang indah, yang
sayap-sayapnya terjahit.
Anak-anak yang dijemput dengan fasilitas yang dimiliki orantua akan
kehilangan banyak momen yang bisa membuat ia kelak lebih pandai dalam
hidup.
Kisah anak-anak saya di Fakultas Ekonomi yang pergi ke luar negeri sudah
dibukukan oleh mereka sendiri dalam buku 30 Paspor di Kelas Sang
Profesor. Edisi terbaru juga telah disiapkan anak-anak itu dalam episode
Duta Perdamaian.
Ketika mendengarkan presentasi mereka, saya selalu belajar bahwa
anak-anak hebat ini kelak akan menjadi lebih hebat lagi. Dengan metode
sharing economy, mereka kini bisa menyebar ke mancanegara dengan biaya
minimal.
Tak terbayangkan bagaimana mahasiswi saya yang dompetnya hilang di
London bisa tetap menyelesaikan misinya hingga ke Scotlandia, menembus
dua negara selama 10 hari dengan sehat.
Tak terbayangkan bagaimana mereka mengajarkan dua perempuan Jepang
memakai hijab. Tak terpikirkan pula bagaimana mereka berkenalan dengan
anak-anak konglomerat dan dijadikan narasumber di berbagai kampus yang
mereka kunjungi.
Anak-anak yang steril tak punya cerita menurut versi mereka sendiri. Dan
anak-anak itu bisa jadi pembual yang hebat. Tetapi anak-anak yang tak
dijemput KBRI kalau ke luar negri, yang berani menghadapi hidup ini
dalam perhitungan yang dilatih sendiri, kelak akan mempunyai story versi
mereka sendiri.
Personal story adalah modal dasar seorang pemimpin. Ia akan merasa
hidupnya berarti, dan sadar bahwa di luar sekolah ada banyak pelajaran
yang bisa melatih kepemimpian, empati sosial dan pemgambilan keputusan.
Jadi, sudahlah. Hentikan dagelan ini, orangtua!
©2016 PT. Kompas Cyber Media
Friday, 8 July 2016
Aku Belajar
AKU BELAJAR
Aku belajar bersabar dari sebuah kemarahan...
Aku belajar
mengalah dari sebuah keegoisan...
Aku belajar tersenyum dari suatu
kesedihan....
Aku belajar tegar dari suatu kehilangan...
Hidup adalah
BELAJAR.....
Belajar bersyukur meskipun tak puas... Belajar ikhlas
meskipun tak rela.... Belajar taat meskipun berat... Belajar memahami
meskipun tak sehati... Belajar sabar meski terbebani...
Belajar memberi meski tak seberapa... Belajar mengasihi meski tersakiti.... Belajar tenang meski gelisah....
Belajar percaya meski susah.... Belajar tabah meski cobaan menerpa... Aku belajar.... bahwa tidak selamanya hidup ini indah,
kadang ALLAH menyapaku melalui derita. Tetapi aku tahu bahwa IA tidak pernah meninggalkanku, sebab itu aku belajar menikmati hidup dengan bersyukur. Aku belajar.... bahwa tidak semua yang aku harapkan akan menjadi kenyataan,
kadang ALLAH membelokkan rencanaku.
Tetapi aku tahu bahwa itu lebih baik dari yang kurencanakan,
sebab itu aku belajar menerima semua itu dengan sukacita. Aku belajar.... bahwa cobaan itu pasti datang dalam hidupku.
Aku tak mau dipengaruhi setan utk marah dan emosi,
aku tak mau menyalahkan orang lain,
Juga tidak mungkin berkata "tidak adil ALLAH". Karena aku tahu bahwa semua itu tidak akan melampaui kekuatanku,
sebab itu aku belajar menghadapinya dengan sabar. Aku belajar.... bahwa tidak ada kejadian yang harus disesali & ditangisi, karena semua rancanganNYA indah bagiku.
Maka dari itu aku belajar bersabar, bersyukur & bersukacita dalam segala perkara.
Karena semua itu menyehatkan jiwa & menyegarkan hidupku... Saudaraku...
• Ketika "Kaki" sudah tak kuat berdiri... "BERSIMPUHLAH". • Ketika "Tangan" sudah tak kuat menggenggam... "LIPATLAH" • Ketika "Kepala" sudah tak kuat ditegakkan... "MENUNDUKLAH" • Ketika "Hati" sudah tak kuat menahan kesedihan... "MENANGISLAH. • Ketika "Hidup" sudah tak mampu untuk dihadapi... "BERDOALAH"
ALLAH selalu setia bersama kita... dan apa saja yang kita minta dalam DOA dengan penuh keyakinan, pasti Ia akan menerimanya..
Belajar memberi meski tak seberapa... Belajar mengasihi meski tersakiti.... Belajar tenang meski gelisah....
Belajar percaya meski susah.... Belajar tabah meski cobaan menerpa... Aku belajar.... bahwa tidak selamanya hidup ini indah,
kadang ALLAH menyapaku melalui derita. Tetapi aku tahu bahwa IA tidak pernah meninggalkanku, sebab itu aku belajar menikmati hidup dengan bersyukur. Aku belajar.... bahwa tidak semua yang aku harapkan akan menjadi kenyataan,
kadang ALLAH membelokkan rencanaku.
Tetapi aku tahu bahwa itu lebih baik dari yang kurencanakan,
sebab itu aku belajar menerima semua itu dengan sukacita. Aku belajar.... bahwa cobaan itu pasti datang dalam hidupku.
Aku tak mau dipengaruhi setan utk marah dan emosi,
aku tak mau menyalahkan orang lain,
Juga tidak mungkin berkata "tidak adil ALLAH". Karena aku tahu bahwa semua itu tidak akan melampaui kekuatanku,
sebab itu aku belajar menghadapinya dengan sabar. Aku belajar.... bahwa tidak ada kejadian yang harus disesali & ditangisi, karena semua rancanganNYA indah bagiku.
Maka dari itu aku belajar bersabar, bersyukur & bersukacita dalam segala perkara.
Karena semua itu menyehatkan jiwa & menyegarkan hidupku... Saudaraku...
• Ketika "Kaki" sudah tak kuat berdiri... "BERSIMPUHLAH". • Ketika "Tangan" sudah tak kuat menggenggam... "LIPATLAH" • Ketika "Kepala" sudah tak kuat ditegakkan... "MENUNDUKLAH" • Ketika "Hati" sudah tak kuat menahan kesedihan... "MENANGISLAH. • Ketika "Hidup" sudah tak mampu untuk dihadapi... "BERDOALAH"
ALLAH selalu setia bersama kita... dan apa saja yang kita minta dalam DOA dengan penuh keyakinan, pasti Ia akan menerimanya..
Copas @Regrann from @wanitasaleha
Kebutuhan Atau Konsumtif ?
Kadang saya suka miris dengan curhatan teman
dekat,hutangnya via kartu kredit sampai numpuk dan hutangnya itu entah sampai
kapan akan lunas.Secara dicicil bayarnya tiap bulan.Dia mengeluh ga bisa
mengendalikan diri belanja online.Terkadang kalau galau larinya ke
belanja.Padahal barang yang dibeli juga ga butuh-butuh amat,jadinya konsumtif
kan?
Padahal kalau saja dia bisa melunasi
hutang-hutangnya yang numpuk itu,semisal uang THR yang didapat kemarin
dialokasikan separuhnya atau bahkan seluruhnya untuk membayar hutang,saya rasa
hidupnya lebih tenang,tak stress terus menerus.
Padahal seandainya dia tahu,kartu kredit ataupun
KTA adalah rentenir berkrah putih.Bunga berbunga,Kalau saja dia memahami soal
riba dan hutang dalam Islam.Jangan sampai kita mati penuh dengan hutang,Nauzubillah…Itulah
kenapa beberapa kajian soal hutang yang pernah saya baca mengatakan,kalau bisa
janganlah kita membeli sesuatu dengan berhutang.
Tapi ya namanya hidup masa kini,dengan segala
godaan duniawi.Sanggupkah kita bertahan dengan apa adanya kita? Mau punya
handphone yang keren harganya sampai 7 jeti.Ngumpulin uang sisa gajian sampai
kapan bisa tertabung? Kalau gajinya puluhan juta sich wajar bisa beberapa bulan
saja menabung.Tapi kalau gajinya kecil ibarat pungguk merindukan bulan,jalan
satu-satunya meraih yang diinginkan ya dengan berhutang.Apalagi kartu kredit
gencar juga menawarkan program cicilan bunga 0%
ibarat gayung bersambut.Kadang itu hanya keinginan bukan kebutuhan,konsumtif
dengan cara instan.Yakin ga tuch bunganya
0% ? Mana ada di dunia ini yang gretong,kita sebagai konsumen harus
selektif dan jangan cepat terlena.
Mungkin karena saya pernah bekerja di perusahaan
leasing / finance dan juga di sebuah bank,saya cukup tahu lika liku soal hutang
piutang ini.Saya bersinggungan langsung dengan para customer dan juga debt
collector,Kadang saya miris mendapati customer kartu kredit yang lugu,tak tahu
menahu kalau kartu itu dipakai ada bunga yang cukup tinggi menanti.Mereka
dengan santainya menggunakan kartunya,sampai hutang menumpuk dan harus
berurusan dengan debt collector.Kalau customer yang cuek bleh sich jangan
ditanya lagi,malah banyak juga yang ibarat “maling”,sampai-sampai debt
collector saja kehilangan jejaknya.
Dan Alhamdulillah,selama ini apapun keinginan
ataupun benar-benar kebutuhan,saya selalu beli dengan tunai.Triknya adalah
dengan rajin menabung.Apapun keinginan saya,saya pastikan harus sesuai dengan
kantong.Jangan sampai besar pasak daripada tiang.Ternyata suamipun berprinsip
sama.Kami selalu takut berhutang,apalagi berurusan dengan bank,kecuali memang
benar-benar kepepet,hikss.Jadi hidup kami bisa dilihat ya biasa saja.Jadi
teringat salah satu postingan di grup whatsapp yang menjadi warning bagi saya,cekidot….
MANUSIA-MANUSIA TANPA HUTANG (CERITA 1)
Kawanku di Jakarta hijrahnya gak tanggung-tanggung, rumahnya yang masih KPR dijual, Honda Jazz putih yang dulu perlente dipakainya pun dijual. Sekarang tinggal di rumah kontrakan, memulai bisnis baru yang sangat berbeda dengan bisnisnya yang dulu.
"Sap, ketika aku menjual semua asetku dan hutangku lunas, ada perasaan plong di hati yang tidak ternilai, bangun pagi rasanya bebasssss... Tak ada sedikitpun mikiran cicilan ini itu lagi. Sebulan kalo dapat uang 20jt, duitnya ya utuh, kebutuhan keluarga paling 5 juta dah cukup.. Gak ada lagi kertas-kertas tagihan dengan nominal dan beban bunga yang bikin nyesek! Dan Allah tidak pernah ingkar janji.. Aku bisa memulai bisnis lagi, bangkit lagi, tanpa harus hutang disana-sini"
Senyumnya begitu lepas.. Tanpa beban.
Kawanku lainnya di Jogja, pengusaha advertising memilih tak pernah tanda tangan apapun dengan surat hutang. Mobil sudah ada dari kantor untuk operasional, wira wiri dia masih setia naik motor, kalo ku goda
"wis dadi boss mbok numpak mobil Mas"
jawabnya cukup sesederhana ini:
"ah Valentino Rossi yang kaya raya aja naik motor kok"
Penghasilannya sebagai pemilik bisnis, penulis buku, dan inspirator di berbagai seminar tentu gampang kalo untuk datang ke dealer, tanda tangan surat hutang, DP 30% dan langsung bawa pulang Innova pun bisa. Tapi itu tidak dilakukannya.. Tetap naik motor, tapi kemarin beli iPhone 6plus harga 14 juta pun cash, beli MacBook puluhan juta pun cash, iPad malah ada yang ngasih.
"Mas aku mau beli rumah nih, tapi cash gak mau hutang.. Sekarang terus ngumpulin uang, ketemu yang cocok bayar.."
"Enak lho gak punya hutang, sholat juga tenang, gak kemrungsung, naik motor juga woles aja tuh.. Gak takut dikuntit debt colector, di rumah juga santai gak ada penagih hutang gedor-gedor rumah" lanjutnya
Mmmm.. Gitu yaa
Ada lagi anak muda yang baru kukenal di Jogja, bisnisnya baru dua tahun tapi tumbuh luar biasa, bangkrut di bisnis jualan jus usai jadi sarjana, sempat galau lalu bangkit dengan bisnis ayam gepreknya. Join dengan kawannya, kerja bareng-bareng memulai usaha, fokus, tekun, gak neko-neko.. Sekarang sehari omzetnya tembus 13-15 juta. Kutanya langsung isi dapurnya, dengan omzet segitu sebulan dapat profit bersih berapa?
"Alhamdulillah mas, bulan kemarin bersih dapat 97 juta"
Wow!!!
"Kalian punya hutang di bank?" Tanyaku
"Sejak awal bisnis kami tidak pernah berhutang, setiap ada untung kami gak ambil, diputer terus, digulung terus, puter lagi, sampai sekarang punya 3 cabang. Kami ingin fokus di bisnis mas, bukan di hutang..."
Anak muda dengan profit nyaris 100jt sebulan itu tetap naik motor ketika berlalu dari hadapanku..
Wahai.. Wahai..
Wahai dirimu yang masih berprinsip hutang itu mulia, numpuk hutang disana-sini, bangga banget dengan aset hutangan yang dipamerkan di semua sosmed, agar dapat label "sudah saksesss!!" dari kawan dan orang sekitar,
inget... kalo engkau tidak mampu membayar hutang akan masuk kategori gharim..
Layak dan berhak dizakati..
Mendapat bagian 2,5% dari harta orang lain seperti fakir miskin.
Mau?
Dan aku jadi saksi, ketika berkeliling kota-kota bertemu dengan banyak pengusaha yang dulu bangga dengan aset-asetnya, sekarang datang dengan wajah murung dalam jeratan hutang tak berkesudahan..
Masih mau terus hidup dalam kepalsuan?
@Saptuari
Friday, 1 July 2016
SAUDARA VS PERSAUDARAN
Jika ada yang bertanya, adakah kaitan antara *saudara* dan *kebahagiaan*.
jawabannya mungkin akan mengagetkan:
*tidak ada kaitannya*.
*tidak ada kaitannya*.
Saudara tidak akan membuat kita bahagia. *Yang membuat kita bahagia* adalah persaudaraan.
Saudara adalah orang-orang yang terhubung dengan kita karena pertalian darah, *berdimensi fisik.*
Sementara persaudaraan adalah orang-orang yang terhubung dengan kita karena pertalian hati, *berdimensi spiritual.*
Jika menilik sejarah, banyak kejahatan yang dilakukan oleh saudara kepada saudaranya sendiri.
Kisah pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia, antara *Qabil dan Habil*, dilakukan oleh saudara atas saudaranya sendiri.
Begitu pula dalam kisah konspirasi saudara-saudara Nabi Yusuf untuk melenyapkannya.
Jika dalam kasus Qabil dan Habil berlaku *kejahatan oleh saudara one-on-one*.
Dalam kisah Nabi Yusuf yang terjadi adalah *persekongkolan jahat berkelompok oleh sesama saudara lebih dari satu orang*.
Kisah-kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa saudara yang
bertali secara darah *(fisik)* bisa menjadi musuh saat tidak ada
pertalian hati *(spiritual).*
*Ada 4 tipe manusia dalam konteks saudara dan persaudaraan* :
1. Saudara yang menunjukkan persaudaraan.
*Inilah surga.*
*Inilah surga.*
2. Bukan saudara namun menunjukkan persaudaraan.
*Ini adalah kebahagiaan (happiness)*
*Ini adalah kebahagiaan (happiness)*
3. Bukan saudara dan tidak menunjukkan persaudaraan.
*Ini disebut ketidakbahagiaan (unhappiness)*
*Ini disebut ketidakbahagiaan (unhappiness)*
4. Saudara tapi tidak menunjukkan persaudaraan.
*Inilah neraka.*
*Inilah neraka.*
Jika ada orang yang bukan saudara dan dia tidak menunjukkan persaudaraan kepada kita, kita bisa dengan mudah menghindarinya.
*Kita bisa memilih komunitas lain tanpa harus bertemu dengannya.*
Namun akan lebih berat bagi kita jika yang tidak menunjukkan persaudaraan itu adalah saudara kita sendiri.
Disinilah kita perlu memaknai setiap kondisi yang kita hadapi agar tidak mengalihkan kita dari kebahagiaan.
Kepada mereka yang tidak menunjukkan persaudaraan, kita
bisa memaknainya sebagai cara Tuhan untuk menjadikan diri kita agar
menjadi manusia yang lebih baik.
Hilangnya rasa persaudaraan dari saudara kita tidak boleh
menjadi penghalang bagi kita untuk merayakan setiap momentum dalam hidup
kita.
Lantas, apa yang dibutuhkan untuk memunculkan rasa persaudaraan khususnya antara sesama saudara ?
Kata kuncinya adalah *connectedness*, rasa terhubung satu sama lain, rasa bahwa kita adalah satu tubuh.
Disaat ada bagian dari tubuh kita yang sakit, *maka seluruh tubuh akan merasakannya*.
Demikian pula sebaliknya, saat bagian tubuh yang sakit itu pulih, *seluruh tubuh merasakan kesegaran.*....
WA Group adalah salah satu upaya untuk menyatukan hati.
*Ada 2 ciri connectedness* :
# Kita merasa senang jika saudara kita mendapatkan kebaikan, dan kita merasa sedih saat saudara kita mendapatkan keburukan.
*Inilah yang dianalogikan sebagai satu tubuh*.
*Inilah yang dianalogikan sebagai satu tubuh*.
# Kita selalu berhubungan dengan saudara kita meski kita sedang tidak membutuhkannya, *silahturahmi*.
*Semoga bisa jadi inspirasi agar bisa menjadi saudara yg baik dan menjaga persaudaraan....*
Wanita,Karir dan Syar'i
Baru-baru ini saya dapat postingan dari grup whatsapp,tentang perempuan.Menarik bagi saya,ada benarnya yang diutarakan.Tapi saya rasa apapun sikap dan kelakuan pasangan kita kepada kita ( semisal KDRT, selingkuh ) jangan sampai kita sebagai perempuan tidak menegakkan apa yang sudah diperintahkan Allah dalam Al Qur'an ataupun hadist.
Berpakaian syar'i dan menjadi wanita karir adalag topik yang menarik.Sayapun belum bisa berpakaian syar'i,walau sudah berusaha tidak berpakaian ketat dan membentuk tubuh serta menutup dada dengan jilbab yang lebih panjang.Tapi saya belum bisa selalu memakai gamis,masih suka memakai celana panjang.
Begitu juga dengan wanita bekerja diluaran,sebenarnya dari kajian-kajian yang pernah saya baca adalah takutnya wanita itu bekerja di luar rumah akan menimbulkan fitnah dan tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga terabaikan,dan terutama lagi adalah suami mengijinkan.Apalagi berkarir sebagai perawat,dokter atau bekerja yang banyak membantu orang banyak,tentu lebih bermanfaat bukan?
Dan ini postingannya,dari Nadirsyah Hosen... Cekidot :
Sejumlah penceramah sangat terobsesi untuk "men-syariatkan"
para perempuan. Pendek kata, setiap upaya menegakkan syariat Islam,
perempuan selalu menjadi target. Seolah perempuan itu selalu keliru dan
karenanya harus diluruskan: dari mulai caranya berpakaian agar sesuai
syariat, caranya patuh pada suami agar sesuai syariat dan kini yang
dijadikan trending topik adalah larangan perempuan keluar rumah plus
larangan bekerja meniti karir di luar rumah.
Dalam benak para penceramah itu perempuan adalah sumber
malapetaka dan sumber problem umat. Kalau kita berhasil kembali
meng-islamkan para perempuan sesuai syariat maka selamatlah umat ini.
Seakan bagi para penceramah para perempuan itu harus sedemikian rupa
diproteksi secara syar'i karena perempuan itu lemah dan bodoh tidak bisa
memilah mana yang benar dan yang salah serta amat mudah tergoda
kemaksiatan. Maka para penceramah berusaha mengurung para perempuan
lewat hijab syar'i, pernikahan dini atau dijodohkan, bagaimana menjadi
isteri yang shalihah, dan bagaimana mengurus dapur.
Ini tahun 2016, dan para penceramah itu masih saja
mengusung paham abad pertengahan. Mereka lupa bagaimana perempuan
sekarang sudah bersekolah dan pandai mencari peran untuk membantu
keuangan keluarga maupun berkontribusi di masyarakat.
Perempuan memiliki berbagai peran dalam berbagai level: ada
yang memilh menjadi ibu rumah tangga, dan ada pula yang memilih karir
sebagai guru/dosen, dokter, direktur, walikota, menteri atau bahkan
presiden. Pendek kata, perempuan berhak menentukan dan memilih perannya.
Sesuai syariat-kah itu? Iya, tentu saja, kalau para lelaki
bersedia berbagi peran dengan cara meng-update pemahamannya tentang
syariat. Kalau para lelaki hendak menjadikan istrinya semulia Khadijah,
sudahkah para lelaki berusaha ber-akhlak seperti Muhammad SAW? Kalau
lelaki menuntut perempuan menjadi shalihah, sudah yakinkah para lelaki
kalau sudah duluan masuk kategori orang shaleh?
Anda suruh mereka pakai hijab syar'i, tapi anda sendiri
kaum lelaki sudahkah menjaga dan menundukkan pandangan anda kepada
perempuan yang bukan hak anda?
Anda suruh mereka diam dan tinggal di rumah, tapi sudahkah anda bawa pulang nafkah yang cukup untuk keluarga?
Anda minta mereka mendidik anak-anak anda di rumah, tapi sudahkah anda beri kesempatan mereka meningkatkan ilmunya agar mampu mendidik anak dengan baik?
Anda suruh mereka diam dan tinggal di rumah, tapi sudahkah anda bawa pulang nafkah yang cukup untuk keluarga?
Anda minta mereka mendidik anak-anak anda di rumah, tapi sudahkah anda beri kesempatan mereka meningkatkan ilmunya agar mampu mendidik anak dengan baik?
Anda suruh mereka patuh pada suami, tapi sudahkah anda juga
patuh pada Allah yang befirman "dan bergaullah kamu semua dengan mereka
(isteri-isteri kamu itu) dengan cara yang baik. Kemudian jika kamu
tidak suka kepada mereka (disebabkan tingkah lakunya (maka bersabarlah)
karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak." (QS. An Nisa [4]: 19) ?
Anda minta mereka menjaga kehormatan diri mereka saat anda pergi, namun sudahkah anda menjaga kehormatan diri di luar rumah?
Sudahkah anda berterima kasih pada mereka atas apa yang
telah mereka sajikan dan apa yang mereka persembahkan untuk anda dan
keluarga demi sama-sama mencari Ridha ilahi?
Sudahkah anda meminta maaf kepada mereka kalau anda berbuat khilaf? Atau anda termasuk lelaki yang gengsi meminta maaf?
Sudahkah anda meminta maaf kepada mereka kalau anda berbuat khilaf? Atau anda termasuk lelaki yang gengsi meminta maaf?
Sudahkah anda meminta doa dari istri untuk kemudahan dan
kesuksesan anda? Atau anda termasuk yang gengsi meminta doa karena
merasa anda lebih paham agama?
Mereka bisa berperan menjadi Khadijah, atau Aisyah atau
Hafsah dan juga Zainab (para istri Nabi), tapi sudahkah anda menjadi
Muhammad SAW untuk mereka?