Friday, 8 July 2016

Kebutuhan Atau Konsumtif ?



Kadang saya suka miris dengan curhatan teman dekat,hutangnya via kartu kredit sampai numpuk dan hutangnya itu entah sampai kapan akan lunas.Secara dicicil bayarnya tiap bulan.Dia mengeluh ga bisa mengendalikan diri belanja online.Terkadang kalau galau larinya ke belanja.Padahal barang yang dibeli juga ga butuh-butuh amat,jadinya konsumtif kan?

Padahal kalau saja dia bisa melunasi hutang-hutangnya yang numpuk itu,semisal uang THR yang didapat kemarin dialokasikan separuhnya atau bahkan seluruhnya untuk membayar hutang,saya rasa hidupnya lebih tenang,tak stress terus menerus.

Padahal seandainya dia tahu,kartu kredit ataupun KTA adalah rentenir berkrah putih.Bunga berbunga,Kalau saja dia memahami soal riba dan hutang dalam Islam.Jangan sampai kita mati penuh dengan hutang,Nauzubillah…Itulah kenapa beberapa kajian soal hutang yang pernah saya baca mengatakan,kalau bisa janganlah kita membeli sesuatu dengan berhutang.

Tapi ya namanya hidup masa kini,dengan segala godaan duniawi.Sanggupkah kita bertahan dengan apa adanya kita? Mau punya handphone yang keren harganya sampai 7 jeti.Ngumpulin uang sisa gajian sampai kapan bisa tertabung? Kalau gajinya puluhan juta sich wajar bisa beberapa bulan saja menabung.Tapi kalau gajinya kecil  ibarat pungguk merindukan bulan,jalan satu-satunya meraih yang diinginkan ya dengan berhutang.Apalagi kartu kredit gencar juga menawarkan program cicilan bunga 0%  ibarat gayung bersambut.Kadang itu hanya keinginan bukan kebutuhan,konsumtif dengan cara instan.Yakin ga tuch bunganya  0% ? Mana ada di dunia ini yang gretong,kita sebagai konsumen harus selektif dan jangan cepat terlena.

Mungkin karena saya pernah bekerja di perusahaan leasing / finance dan juga di sebuah bank,saya cukup tahu lika liku soal hutang piutang ini.Saya bersinggungan langsung dengan para customer dan juga debt collector,Kadang saya miris mendapati customer kartu kredit yang lugu,tak tahu menahu kalau kartu itu dipakai ada bunga yang cukup tinggi menanti.Mereka dengan santainya menggunakan kartunya,sampai hutang menumpuk dan harus berurusan dengan debt collector.Kalau customer yang cuek bleh sich jangan ditanya lagi,malah banyak juga yang ibarat “maling”,sampai-sampai debt collector saja kehilangan jejaknya.

Dan Alhamdulillah,selama ini apapun keinginan ataupun benar-benar kebutuhan,saya selalu beli dengan tunai.Triknya adalah dengan rajin menabung.Apapun keinginan saya,saya pastikan harus sesuai dengan kantong.Jangan sampai besar pasak daripada tiang.Ternyata suamipun berprinsip sama.Kami selalu takut berhutang,apalagi berurusan dengan bank,kecuali memang benar-benar kepepet,hikss.Jadi hidup kami bisa dilihat ya biasa saja.Jadi teringat salah satu postingan di grup whatsapp yang menjadi warning bagi saya,cekidot….

Copas sebelah
MANUSIA-MANUSIA TANPA HUTANG (CERITA 1)
Kawanku di Jakarta hijrahnya gak tanggung-tanggung, rumahnya yang masih KPR dijual, Honda Jazz putih yang dulu perlente dipakainya pun dijual. Sekarang tinggal di rumah kontrakan, memulai bisnis baru yang sangat berbeda dengan bisnisnya yang dulu.
"Sap, ketika aku menjual semua asetku dan hutangku lunas, ada perasaan plong di hati yang tidak ternilai, bangun pagi rasanya bebasssss... Tak ada sedikitpun mikiran cicilan ini itu lagi. Sebulan kalo dapat uang 20jt, duitnya ya utuh, kebutuhan keluarga paling 5 juta dah cukup.. Gak ada lagi kertas-kertas tagihan dengan nominal dan beban bunga yang bikin nyesek! Dan Allah tidak pernah ingkar janji.. Aku bisa memulai bisnis lagi, bangkit lagi, tanpa harus hutang disana-sini"
Senyumnya begitu lepas.. Tanpa beban.

Kawanku lainnya di Jogja, pengusaha advertising memilih tak pernah tanda tangan apapun dengan surat hutang. Mobil sudah ada dari kantor untuk operasional, wira wiri dia masih setia naik motor, kalo ku goda
"wis dadi boss mbok numpak mobil Mas"
jawabnya cukup sesederhana ini:
"ah Valentino Rossi yang kaya raya aja naik motor kok"

Penghasilannya sebagai pemilik bisnis, penulis buku, dan inspirator di berbagai seminar tentu gampang kalo untuk datang ke dealer, tanda tangan surat hutang, DP 30% dan langsung bawa pulang Innova pun bisa. Tapi itu tidak dilakukannya.. Tetap naik motor, tapi kemarin beli iPhone 6plus harga 14 juta pun cash, beli MacBook puluhan juta pun cash, iPad malah ada yang ngasih.

"Mas aku mau beli rumah nih, tapi cash gak  mau hutang.. Sekarang terus ngumpulin uang, ketemu yang cocok bayar.."

"Enak lho gak punya hutang, sholat juga tenang, gak kemrungsung, naik motor juga woles aja tuh.. Gak takut dikuntit debt colector, di rumah juga santai gak ada penagih hutang gedor-gedor rumah" lanjutnya
Mmmm.. Gitu yaa
Ada lagi anak muda yang baru kukenal di Jogja, bisnisnya baru dua tahun tapi tumbuh luar biasa, bangkrut di bisnis jualan jus usai jadi sarjana, sempat galau lalu bangkit dengan bisnis ayam gepreknya. Join dengan kawannya, kerja bareng-bareng memulai usaha, fokus, tekun, gak neko-neko.. Sekarang sehari omzetnya tembus 13-15 juta. Kutanya langsung isi dapurnya, dengan omzet segitu sebulan dapat profit bersih berapa?
"Alhamdulillah mas, bulan kemarin bersih dapat 97 juta"
Wow!!!
"Kalian punya hutang di bank?" Tanyaku
"Sejak awal bisnis kami tidak pernah berhutang, setiap ada untung kami gak ambil, diputer terus, digulung terus, puter lagi, sampai sekarang punya 3 cabang. Kami ingin fokus di bisnis mas, bukan di hutang..."

Anak muda dengan profit nyaris 100jt sebulan itu tetap naik motor ketika berlalu dari hadapanku..
Wahai.. Wahai..
Wahai dirimu yang masih berprinsip hutang itu mulia, numpuk hutang disana-sini, bangga banget dengan aset hutangan yang dipamerkan di semua sosmed, agar dapat label "sudah saksesss!!" dari kawan dan orang sekitar,
inget... kalo engkau tidak mampu membayar hutang akan masuk kategori gharim..
Layak dan berhak dizakati..
Mendapat bagian 2,5% dari harta orang lain seperti fakir miskin.
Mau?

Dan aku jadi saksi, ketika berkeliling kota-kota bertemu dengan banyak pengusaha yang dulu bangga dengan aset-asetnya, sekarang datang dengan wajah murung dalam jeratan hutang tak berkesudahan..
Masih mau terus hidup dalam kepalsuan?
@Saptuari

No comments:

Post a Comment