Be Yourself

Wednesday, 23 December 2015

From Allah to Allah: Rezeki Itu Milik Allah

From Allah to Allah: Rezeki Itu Milik Allah
by Leila Hana

"Saya nggak mau jadi ibu rumah tangga saja. Kalau suami meninggal atau kita bercerai, gimana? Siapa yang3 kasih makan saya dan anak-anak? Istri itu harus mandiri finansial supaya bisa punya uang untuk jaga-jaga kalau ada apa-apa dengan suami."

Seketika, kalimat itu buyar kala saya berhadapan dengan seorang wanita berusia 47 tahun yang datang ke rumah saya untuk mengisi pengajian. Wanita bersahaja itu datang jauh-jauh, cukup jauh dari komplek perumahan tempat tinggal saya, untuk memberi pengajian secara gratis. Ingat, gratis lho.... Nggak ada bayaran sepeser pun kecuali sajian makan siang yang saya berikan. Dia datang untuk menggantikan guru ngaji saya yang berhalangan. Sambil menunggu teman-teman lain, kami ngobrol-ngobrol.

"Coba tebak, anak saya berapa, Bu?" tanyanya, ketika kami sedang ngobrol soal anak-anak. Saya sedikit mengeluhkan kondisi rumah yang berantakan karena anak-anak nggak bisa diam, lalu dia memaklumkan. Namanya juga anak-anak. Dia sudah berpengalaman karena anaknya lebih banyak dari saya.
"Ehm... empat?" (pikir saya, paling-paling cuma selisih satu).
"Masih jauh...."
"Tujuh...."
"Kurang... yang benar, delapan."
Mata saya membelalak. Masya Allah! DELAPAN?!
"Itu masih kurang, Bu. Ustazah Yoyoh (almarhumah Yoyoh Yusroh, mantan anggota DPR) saja anaknya 13. Jadi, saya ini belum ada apa-apanya," katanya, merendah.
Setelah itu, mengalirlah cerita-ceritanya mengenai anak-anaknya sampai teman-teman saya datang dan acara mengaji pun dimulai. Di sela pengajian, wanita itu bercerita mengenai keluarganya. Dari situ saya baru tahu kalau suaminya sudah meninggal dunia! Meninggal karena kecelakaan motor, meninggalkan istri dan delapan anak, yang terkecil berusia 2,5 tahun dan sang istri, ya... wanita itu... seorang IBU RUMAH TANGGA.
Ibu rumah tangga di sini maksudnya nggak kerja kantoran, tapi juga bukan pengangguran. Beliau aktif mengisi pengajian. Lalu, bagaimana kehidupannya setelah suaminya meninggal? Beliau nggak punya gaji, nggak kerja kantoran. Coba, gimana? Apa beliau lalu sengsara dan anak-anaknya putus sekolah? No. no, no....

Kalau saya mengingat kalimat pembuka di atas kok kayaknya mustahil ya seorang ibu yang nggak bekerja dan suaminya meninggal dunia, bisa bertahan hidup dengan delapan anak dan anak-anaknya bisa tetap kuliah. Mustahil itu... NGGAK MUNGKIN!
"Bagi Allah, nggak ada yang nggak mungkin, Bu. Asal kita percaya sama Allah. Allah yang kasih rezeki, kan? Percaya saja sama Allah. Saya cuma yakin bahwa semua yang saya dapatkan selama ini adalah karena kebaikan-kebaikan saya dan suami semasa hidup. Saya cuma berbagi pengalaman ya, Bu, bukan mau riya. Memang, suami saya dulu itu orangnya pemurah. Kalau ada yang minta bantuan, dia akan kasih walaupun dia uangnya pas-pasan. Alhamdulillah, Allah kasih ganti. Sewaktu suami masih hidup, kami hidup sederhana. Rezeki suami itu dibagi ke orang-orang juga, padahal anak kami ada delapan. Suami nggak takut kekurangan....."
Kami menahan napas.....
"Hingga suami saya meninggal dunia... uang duka yang kami dapatkan itu... Masya Allah... jumlahnya 100 juta. Padahal, suami saya itu biasa-biasa saja, bukan orang penting. Uang itu langsung dibuat biaya pemakaman, tabungan pendidikan anak, dan sisanya renovasi rumah yang mau ambruk."
Dengar uang 100 juta dari uang duka saja, saya sudah kagum.
"Saat renovasi rumah, saya serahkan saja ke tukangnya. Dia bilang, uangnya kurang. Saya lillahi ta'ala saja. Yang penting atap rumah nggak ambruk, karena memang kondisinya sudah memprihatinkan. Khawatirnya anak-anak ketimpa atap....."
Saya membayangkan, keajaiban apa lagi yang didapatkan oleh wanita itu?
"Nggak disangka. Begitu orang-orang tau kalau saya sedang renovasi rumah, mereka menyumbang. Bukan ratusan ribu, tapi puluhan juta! Sampai terkumpul 100 juta lagi dan rumah saya seperti bisa dilihat sekarang.... Sampai hari ini, saya masih dapat transferan uang dari mana-mana, Bu-Ibu. Saya nggak tau dari siapa aja karena mereka nggak bilang. Saya juga udah nggak pernah beli beras lagi sejak suami meninggal. Selalu ada yang kasih beras."
Duh, nggak bisa nahan airmata deh jadinya....

Apa rahasianya?
"Berbuat baik kepada siapa saja, sekecil apa pun. Insya Allah ada balasannya. Rezeki itu milik Allah. Kalau Allah berkehendak, Dia akan kasih dari mana pun asalnya...." tutupnya.
Rezeki itu milik Allah, siapa pun tidak boleh takabur. Bekerja bukanlah sarana menyombongkan diri bahwa hidup kita bakal terjamin karena bekerja. Yang menjamin hidup kita adalah Allah. Bekerja diniatkan untuk ibadah. Pembuka rezeki bisa datang dari mana saja, salah satunya dari berbuat kebaikan sekecil apa pun.
Ucapan, "Kalau suami meninggal atau bercerai, siapa yang kasih makan saya dan anak-anak?" itu sama saja dengan sirik, atau menduakan Allah.
Menganggap diri kita super, dengan kita bekerja, maka rezeki terjamin. Padahal, Allah yang kasih rezeki. Jika dulu Allah kasih rezeki melalui suami, besok Allah kasih lewat jalan lain. From Allah to Allah.🌟
Smg bermanfaat...
Posted by vivi sanusi at 04:51 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest

Sunday, 8 November 2015

Kembalikan Anak Lelakiku



Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya : “Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!”
Suamiku menjawab:“Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.”

Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa.
Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku:
“Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.”

Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: “Oh ya. Ide bagus itu.”

Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.

Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.
Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.

Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya.

Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:
“Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!” Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu. “Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”

Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu.

Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak, “Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!” Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.

Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini.

Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya. Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya: “Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!”

Allahumma Shalii ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam. Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu, “Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?”

Aku memandang suamiku yang terpaku.

Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu? Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.
Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua, “Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta.

Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan. Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.

Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: “Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.”

Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan. Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu

Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu.
Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.
Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu.

Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata: Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu! Amin, Alhamdulillah.

Itu Sepenggal Kisah Nyata Kehidupan Bunda Neno Warisman utk para Ayah Indonesia dalam buku “Izinkan Aku Bertutur”
Copas dari Fb Ning Rahmi






Posted by vivi sanusi at 01:02 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest

Monday, 14 September 2015

Memanfaatkan Limbah Dapur Sebagai Penghias Dapur

copas dari www.rooang.com

copas dari www.rooang.com




Dinukil dari http://rooang.com/2015/02/hijaukan-dapur-dengan-tumbuhan-sayur/ dan http://www.1001fakta.com/2014/04/mau-hemat-tanam-kembali-limbah-dapur.html salah satu cara menghias dapur adalah dengan berkebun mini,memanfaatkan limbah dapur seperti bonggol sawi,daun bawang,kemangi,seledri,bawang putih bahkan wortel.Hanya dengan media air serta cangkir atau toples,kita bisa memperindah dapur sekaligus menanam sendiri untuk kebutuhan masak memasak.


kemangi penghias dapur ***copas dari www.1001fakta.com


Kriteria tanaman yang bisa ditanam kembali adalah yang memiliki akar atau jenis umbi. Jenis ini lebih mudah ditanam daripada jenis lainnya. Untuk jenis sayur , sisakan bagian pangkalnya yang berakar. Sayur yang tidak berakar akan lebih sulit ditanam kembali. Untuk cabai, cukup tanam bagian bijinya.

Selama ini kita biasa menanam kunyit,jahe atau cabe rawit di pot atau di tanah pekarangan,setelah melihat link diatas ada alternatif lain memanfaatkan limbah dapur,daripada terbuang ke bak sampah.
Yuuuk kita hijaukan dapur dan rumah...


Posted by vivi sanusi at 08:28 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest

Friday, 28 August 2015

Inilah Generasi 60-90an

Copas __
Berdasar penelitian beberapa psikolog:
GENERASI BAHAGIA itu, generasi kelahiran 1960 - 1990...😉
😘Dan itu adalah kami... 👏😃

Kami adalah generasi terakhir yg masih bermain di halaman rumah yg luas. Kami berlari dan bersembunyi penuh canda-tawa dan persahabatan. Main petak umpet, boy-boyan, gobag sodor, lompat tali, masak-2an, dokter-2an, sobyong, jamuran, putri putri melati tanpa peringatan dari ayah-ibu. Kami bisa memanfaatkan gelang karet, isi sawo, kulit jeruk, batre bekas, sogok telik menjadi permainan yg mengasyikkan. Kami yg tiap melihat pesawat terbang langsung teriak ; " Pakdheeee minta uang...!!!😁😅
😘😜

Kami generasi yg ngantri di wartel dari jam 5 pagi, berkirim surat pake kertas surat sanrio atau flomo dan menanti surat balasan dgn penuh rasa rindu...#eaaa😅😘 Tiap sore kami menunggu cerita radio Brama Kumbara, berkirim salam lewat penyiar radio. Kamilah generasi yang SD-nya merasakan papan tulis berwarna hitam, masih pakai pensil dan rautan yg ada kaca di salah satunya. Kamilah generasi yg SMP dan SMA-nya masih pakai papan tulis hitam dan kapur putih. Generasi yg meja sekolahnya penuh dengan coretan kejujuran kami melalui tulisan Tipe-X putih, generasi yg sering mencuri pandang teman sekolah yg kita naksir, kirim salam buat dia lewat temannya dan menyelipkan surat cinta di laci mejanya...#eheeem...👏
😚 

Kami adalah generasi yg merasakan awal mula teknologi gadget komunikasi seperti pager, komputer pentium jangkrik 486 dan betapa canggihnya Pentium 166Mhz. Kami generasi yg sangat bangga kalau memegang Disket kapasitas 1.44Mb dan paham sedikit perintah Dos dgn mengetik copy, del, md, dir/w/p. Kami adalah generasi yg memakai MIRC utk chatting dan searching memakai Yahoo. Generasi bahagia yg pertama mengenal atari, sega, nintendo, gimbot (#gamewatch) yg blm berwarna...😅😘

Generasi kamilah yg merekam lagu dari siaran radio ke pita  tape, yg menulis lirik dgn cara play-pause-rewind, dan memanfaatkan pensil utk menggulung pita kaset yg macet, kirim-2an salam sm temen-2 lewat siaran radio saling sindir dan bla bla bla..., generasi penikmat awal walkman dan mengenal apa itu laserdisc, VHS. Kamilah generasi layar tancap 'misbar' yg merupakan cikal bakal bioskop Twenty One...👏😅

Kami tumbuh diantara para legenda cinta seperti Koes Plus, Dian Pishesa, Ebiet G Ade, Kla Project, Dewa 19, Padi, masih tak malu menyanyikan lagu Sheila on 7, dan selalu tanpa sadar ikut bersenandung ketika mendengar lagu : 'mungkin aku bukan pujangga, yg pandai merangkai kata...' 🎤🎧🎶

Kami generasi bersepatu butterfly, dogmart, warior dan rela nyeker berangkat sekolah tanpa sepatu kalau sedang hujan. Cupu tapi bukan madesu lhooo...hahaha 😁👏😂

Kami adalah generasi yg bebas, bebas bermotor tanpa helm, yg punya sepeda, sepedanya disewain 200 perak/jam, bebas dari sakit leher krn kebanyakan melihat ponsel, bebas manjat tembok stadion, bebas mandi di kali, di sungai dll, bebas manggil teman sekolah dgn nama bapaknya. Bebas bertanggung jawab...👏😘

Sebagai anak bangsa Indonesia, kami hafal Pancasila, nyanyian Indonesia Raya, Maju Tak Gentar, Teks Proklamasi, Sumpah Pemuda, nama-2 para Menteri Kabinet Pembangunan IV dan Dasadharma Pramuka dan nama-2 seluruh provinsi di Indonesia...😊😘👍

Kini di saat kalian sedang sibuk-2nya belajar dgn kurikulum-mu yg ngejelimet, kami asik-2an mengatur waktu utk selalu bisa ngumpul reunian dgn generasi kami...😉

Betapa bahagianya generasi kami...👏😆😘👍
Maaf adik-2qu dan jg anak-2qu dan ponakan-2qu..(generasi Z/ generasi digital) kalian belajar yg keras yah utk mendapatkan kebahagian cara kalian sendiri...di era sekarang dan nanti☺
Salam sayang dari kami...😘
~Generasi 60-90's~
Posted by vivi sanusi at 07:52 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest

Wednesday, 26 August 2015

Kucing

Cerita Nabi Muhammad SAW dan Kucingnya.

Didalam perkembangan peradaban islam, kucing hadir sebagai teman sejati dalam setiap nafas dan gerak geliat perkembangan islam.
Diceritakan dalam suatu kisah, Nabi Muhammad SAW memiliki seekor kucing yang diberi nama Mueeza. Suatu saat, dikala nabi hendak mengambil jubahnya, di temuinya Mueeza sedang terlelap tidur dengan santai diatas jubahnya. Tak ingin mengganggu hewan kesayangannya itu, nabi pun memotong belahan lengan yang ditiduri Mueeza dari jubahnya. Ketika Nabi kembali ke rumah, Muezza terbangun dan merunduk sujud kepada majikannya. Sebagai balasan, nabi menyatakan kasih sayangnya dengan mengelus lembut ke badan mungil kucing itu sebanyak 3 kali.
Dalam aktivitas lain, setiap kali Nabi menerima tamu di rumahnya, nabi selalu menggendong mueeza dan di taruh dipahanya. Salah satu sifat Mueeza yang nabi sukai ialah ia selalu mengeong ketika mendengar azan, dan seolah-olah suaranya terdengar seperti mengikuti lantunan suara adzan.
Kepada para sahabatnya, nabi berpesan untuk menyayangi kucing peliharaan, layaknya menyanyangi keluarga sendiri.
Hukuman bagi mereka yang menyakiti hewan lucu ini sangatlah serius, dalam sebuah hadist shahih Al Bukhori, dikisahkan tentang seorang wanita yang tidak pernah memberi makan kucingnya, dan tidak pula melepas kucingnya untuk mencari makan sendiri, Nabi SAW pun menjelaskan bahwa hukuman bagi wanita ini adalah siksa neraka.
Sebagaimana hadits riwayat Abdullah bin Umar ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seorang wanita disiksa karena mengurung seekor kucing sampai mati. Kemudian wanita itu masuk neraka karenanya, yaitu karena ketika mengurungnya ia tidak memberinya makan dan tidak pula memberinya minum sebagaimana ia tidak juga melepasnya mencari makan dari serangga-serangga tanah. (Shahih Muslim No.4160)
Semoga bermanfaat.
Copas dari bang Faisal Amir

3 Sebab Kucing Datang Pada Kita..".
Pertama
Allah sedang beritahu makanan kita, hak kita itu bukan semuanya rezeki kita. Sebahagiannya rezeki kucing itu. Sebab itu ia datang pada kita.
Kedua
Allah sedang beritahu apabila kita memberi makanan kepada kucing itu, rezeki lain akan Allah ganti yang lebih baik. Sebab 1 kebaikan itu Allah balas 10 kebaikan. Allah maha mampu memberi lebih dari itu.
Ketiga
Allah sedang bagi tahu apabila kita tak memberi makanan kepada kucing itu, sebenarnya kita sedang menolak rezeki baru yang Allah berikan kepada kita. Rezeki itu luas bukan hanya pada uang. Tetapi meliputi semua kehidupan. Ingin ikhlas memberi, berilah pada hewan karena hewan tak pandai mengucapkan terima kasih kepada kita. Ia hanya tahu minta dan makan.


Posted by vivi sanusi at 23:13 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest
Labels: fakta kucing, kucing

Fenomena Ojek Online

Lagi hits banget ojek online ini,sampai terdengar berita beberapa saat lalu peminat ojek ini mencapai 800an orang memenuhi Senayan Jakarta dalam perekrutan untuk bergabung sebagai driver.Bahkan anak tetangga saya yang bapaknya kepala cabang sebuah bank ternama ikutan jadi driver Gojek.Dia mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta terkenal,karena ingin punya uang tambahan,ga malu lagi jadi driver ojek yang notabene dulu sebagai tukang ojek terasa 'rendah'.Hebatnya Gojek ataupun Grab Bike menaikkan level seorang tukang ojek

Kalau motor keren seperti ini ngojek online,masih mikir soal sesuap nasikah ?



Terlintas dan teringat tulisan saya di blog Multiply ( yang teah wafat ) sekian tahun lalu,ketika saya membahas si Bang Ucup tukang ojek yang curcol ketika saya menaiki ojeknya.Dia dulu bekerja di bank.Karena bank tersebut dimerger dan dia kena PHK,terpaksalah jadi tukang ojek.

Membayangkan krismon 1998 lalu,memang banyak imbasnya.Termasuk saya yang juga bekerja di bank saat itu juga kena kebijakan pemerintah,bank tempat saya bekerja juga harus merger dengan Bank Danamon.Dan semua karyawan harus diPHK.Bisa dibayangkan berapa ribu kaeyawan jadi penggangguran,belum bank-bank serta perusahaan lainnya yang terkena imbasnya.Apakah kelesuan ekonomi sekarang ini dengan terus naiknya dollar akan mengulang kejadian krismon di tahun 1998 ?

Semenetara sebagian orang dengan kondisi seperti ini harus terus berjuang untuk kehidupan lebih baik,menjadi tukang ojek online taklah menjadi hal tabu lagi.Kalau saya ada Sim C saat ini,saya juga mau ngojek,daripada manyun ajah dirumah hehee...Makanya tak heran,ada berita seorang manager sebuah resort beralih jadi tukang ojek online.Dalam sehari kalau full narik penumpang dari pagi hingga malam,dia mengaku bisa mendapat 1 juta rupiah.Saya menaruh respek terhadap orang-orang yang notabene bisa bekerja lebih baik,tapi entah pertimbangan apa lebih memilih pekerjaan seperti ini.Itu hak mereka,seperti juga driver taxi yang membuat heboh sosmed beberapa waktu lalu,yang ternyata beliau adalah lulusan S2 di Jerman.

Padahal di luar negeri,pekerjaan yang dianggap rendahan sekalipun banyak dilakukan oleh orang-orang berpredikat sarjana.Teman saya yang pernah tinggal di Aussie bahkan pernah bekerja paroh waktu jadi cleaning service yang kerjanya membersihkan toilet umum, Hari gini apapun pekerjaan halal dan menghasilkan uang buat apa malu.Nah, pengojek online juga akhirnya jadi hits sebagai pekerjaan sampingan atau malah pekerjaan utama saat ini.Lihat saja bahkan gadis cantik seorang mahasiswi yang juga membuat heboh dunia sosmed jadi pengojek online.Beredar juga beberapa foto motor-motor pengojek online yang mewah dipakai untuk ngojek.Kalau itu bukan lagi mencari sesuap nasi tapi lebih kepuasan batin? Hehee...Puas hasil ngojek untuk meringankan cicilan motornya atau lumayan untuk ganti uang bensinnya.Seperti halnya suami Poppy Bunga si artis sinetron,yang suaminya jadi driver Taxi Uber.Katanya lumayan sehari dapat 800 ribu rupiah.

Ada juga cerita lain, wanita pengojek online yang ikut ngojek, katanya lumayan untuk tambahan beli susu anak dan biaya rumah tangga.Sekarang sudah banyak ojek pangkalan yang ikut bergabung di ojek online,Harusnya yaa mereka para ojek pangkalan tidak bentrok dengan ojek online.Manfaatkan gadget dan melek internet biar dapat penghasilan yang lebih memadai.Banyak yang merasakan keuntungannya koq,biasa jadi pengojek pangkalan cuma dapat 50 ribu sehari.Sekarang jadi pengojek online bisa 10 kali lipatnya dalam sehari.

Respek terhadap pendiri / CEO GO-JEK Indonesia Nadiem Makarim ( walau ada Grab Bike pesaingnya dari negara tetangga ) yang membuka lapangan kerja dan mengatasi kemacetan Jakarta.Gojek yang lagi hits ditengah ekonomi yang sedang lesu,ditengah serbuan ratusan bahkan ribuan tenaga kerja asing,akibat kebijakan pemerintah dengan para investor ( Lihatlah ratusan tenaga kerja Cina di proyek pabrik semen di Banten ). Semoga jadi pengojek tak dipandang sebelah mata lagi...

Mahasiswi cantik pengojek online

Ahaaayy *_^
Mahasiwi Cantik Pengojek Online
Manager Resort Resign n Jadi Pengojek Online
Moge Jadi Pengojek Online
Posted by vivi sanusi at 02:30 2 comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest
Labels: fenomena gojek, Gojek, ojek online

Thursday, 20 August 2015

Passport

Copas ---
PASSPORT by Rhenald Kasali

Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global.". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.

Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?"
Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.

Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.

The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut.

Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.

Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.

Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.

Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
ripetAcile
Posted by vivi sanusi at 08:04 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest

Tuesday, 18 August 2015

Manusia Indonesia





Oleh Sarlito Wirawan Sarwono*.

Beberapa waktu yang lalu, ketika melintasi jalan Kapten Tendean, Jakarta, yang sedang direnovasi, saya terkejut ketika melihat salah satu backhoe (alat berat penggali tanah) bermerek “Samsung” (Korea), karena selama ini yang saya ketahui Samsung adalah produser HP, smartphone, gadget dan barang-barang elektronik, yang sudah jauh menggusur posisi Sonny dan Nokia (Jepang), tetapi bukan produsen alat-alat berat. Tetapi bukan itu saja, di Indonesia para Korea ini sudah mulai menggusur Jepang di bidang kuliner (Resto Korea versus Resto Jepang), budaya pop (K-pop, Gangnam style, Boys band, Sinetron Korea dll), dan otomotif (“H” dari Hyundai versus “H” dari Honda). Padahal Korea pernah “dijajah” Jepang (1876-1945) dan orang Korea punya dendam kesumat kepada orang Jepang. Tetapi dendam itu tidak dibalaskan dengan perang lagi atau agresi politik, melainkan dengan kerja keras yang menghasilkan prestasi di bidang teknologi, ekonomi dan budaya. Dalam waktu 70 tahun kita sama-sama melihat hasilnya.
Indonesia juga pernah dijajah Jepang, tidak lama, hanya 3½ tahun, tetapi rakyat sangat menderita selama masa penjajahan yang singkat itu. Anehnya, walaupun akhirnya Jepang kalah Perang Dunia II dan Jepang diwajibkan membayar pampasan perang kepada Indonesia, setelah 70 tahun Indonesia tidak berhasil mengimbangi Jepang hampir di segala bidang. Malah di tahun 1974 terjadi peristiwa Malari (15 Januari), saat mahasiswa dan massa membakari mobil-mobil bermerk Jepang. Orang Indonesia bukannya bekerja lebih giat untuk menyaingi Jepang, tetapi menyalahkan dan menyerang si pesaing. Dalam psikologi mentalitas seperti ini disebut “ekstra-punitif” (menghakimi pihak lain) yang bersumber pada “pusat kendali eksternal” (external locus of control).

Menurut teori Pusat Kendali (locus of control: J.B. Rotter, 1954), ada dua macam tipe manusia, yaitu yang Pusat Kendalinya Internal dan Eksternal. Orang dengan Pusat Kendali Internal (PKI) percaya bahwa dirinya sendirilah yang menentukan apa yang akan terjadi dengan dirinya, bahkan lingkungan di sekitarnyapun bisa dia kendalikan sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan orang dengan Pusat Kendali Eksternal (PKE) jika terjadi sesuatu, cenderung menyalahkan pihak lain, bukannya mengoreksi diri sendiri.

Sebagian besar orang Indonesia, menurut hemat saya, tergolong PKE. Bukan hanya dalam kasus Malari, tetapi hampir pada setiap peristiwa sehari-hari. Kalau dalam Pilkada ada calon Bupati/Walikota yang dinyatakan gugur karena tidak memenuhi persyaratan maka kantor KPU-nya dibakar. Kalau kebanjiran menyalahkan pemerintah, kalau kekeringan minta bantuan pemerintah. Si pemerintah juga lebih senang menyalahkan alam yang tidak bersahabat. Bahkan ketika perekonomian nasional mengalami perlambatan seperti sekarang ini, para menteri di pemerintah pusat lebih senang menyalahkan faktor-faktor luar negeri (menggiatnya perekonomian dan kenaikan suku bunga di AS dll), ketimbang merekayasa perekonomian dalam negeri untuk mendongkrak laju perekonomian nasional. Pengendara motor yang melawan arus, ketika ditangkap polisi, akan membantah, “Lho, tiap hari saya lewat sini. Ada polisi, tetapi tidak pernah diapa-apakan. Kok sekarang saya mau ditilang?”

Salah satu dampak dari sifat bangsa Indonesia yang PKE ini adalah mencari jalan pintas. Tidak punya ijasah, ya beli ijasah Aspal saja. Mau menang Pilkada, beli suara. Mau main di pengadilan beli hakimnya. Kalau tidak bisa dibeli, liwat kekerasan. Termasuk Tuhan pun dijadikan faktor yang dijadikan sarana untuk mencapai sesuatu. Ingin lulus Ujian Nasional, sholat Istigozah rame-rame. Demo anti kenaikan harga BBM, teriak “Allahu Akbar”. Tetapi karena Tuhan tidak bisa dibeli, maka yang menikmati (yang terima duit) adalah para pemain di balik agama, termasuk para da’i komersial (yang sering masuk TV dan honor tausyiahnya 10 kali lipat dari ceramah profesor), Biro perjalanan Haji dan Umroh, dan para pemain politik yang menggunakan agama sebagai kendaraannya.

Akhir-akhir ini bahkan makin kuat kecenderungan untuk lebih menuhankan agama ketimbang menuhankan Tuhan (Allah) itu sendiri. Agama sudah dianggap jauh lebih penting daripada negara, pemerintah, bendera dan lagu kebangsaan, kewarganegaraan, dsb.
Kalau Kartosuwiryo yang memproklamasikan NII (Negara Islam Indonesia) di tahun 1949 (isterinya tidak berjilbab), masih mencita-citakan sebuah negara yang bernama Indonesia, JI (Jamaah Islamiah) dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) tidak lagi mempersoalkan wilayah, dia maunya seluruh dunia adalah Daulah Islamiah, yang dipimpin oleh seorang Amir atau Khalifah saja. Berita mutakhir, ISIS telah mengeksekusi 19 perempuan yang menolak bersetubuh dengan para pejuangnya, atas nama agama, atas nama Daullah Islamiah. Padahal Allah sendiri tidak pernah mengatakan begitu. Bukankah ini menuhankan agama lebih dari pada menuhankan Allah itu sendiri? Apa namanya kalau bukan musyrik?

Dampak yang serius dari mentalitas PKE adalah orang jadi malas kerja. Orang PKE yang tidak berorientasi agama memilih hidup hedonis, mumpung muda hura-hura, tua foya-foya, mati masuk alam baka (surga atau neraka? Emang gue pikirin?). Mereka terlibat Narkoba, seks berisiko, kenakalan dan kriminal untuk memenuhi kebutuhan hedonisnya. Sementara PKE yang orientasinya agama lebih rajin berdoa (rukun Islam tidak pernah terlambat, termasuk berumroh berkali-kali), tetapi tetap enggan bekerja serius. Bahkan mereka pikir tidak apa-apa sedikit bermaksiat juga, karena mereka pasti sudah diberi pahala dan ampun oleh Allah yang Maha Pengampun, karena ibadah mereka sudah berpuasa yang pahalanya lebih dari seribu bulan dan sudah sholat Arbain di Medinah, yang pahalanya entah berapa juta kali lipat dibandingkan shalat di masjid lain. Itulah sebabnya Indonesia tidak pernah lepas dari korupsi dan maksiat, walaupun mayoritas penduduknya adalah muslim terbanyak di dunia.   Itulah sebabnya Indonesia tidak pernah lepas dari STMJ (Sholat Terus, Maksiat Jalan).

Padahal Indonesia sedang dalam era Bonus Demografi (2010-2045), yaitu saat penduduk usia produktif (15-64 tahun) berjumlah dua kali lipat dari penduduk non-produktif. Para pakar menamakannya peluang emas untuk menggenjot kemajuan di segala bidang, guna menyejahterakan dan memakmurkan bangsa, khususnya karena negara-negara lain sudah meliwati masa ini bertahun-tahun yang lalu (negara-negara maju seperti Kanada dan AS sudah mengimport imigran untuk mengisi kekurangan tenaga kerja mereka) dan Indonesia sendiri akan kehilangan peluang itu juga pasca 2045. Peluang emas inilah yang ingin direbut oleh Presiden Jokowi dengan seruannya “Kerja, kerja, kerja!!!”. Maka kabinetnya pun dinamakan Kabinet Kerja. Tetapi kalau bangsa Indonesia lebih suka berhura-hura atau hanya berdoa saja, jangan-jangan hingga tahun 2045 (100 tahun setelah kemerdekaan), Indonesia bukannya menandingi Korea atau Tiongkok (Cina) melainkan makin terpuruk. Naudzubillah min dzalik.
* Guru Besar Psi UI.
Posted by vivi sanusi at 07:02 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest

Friday, 14 August 2015

Mengapa

Copas dari tetangga ;
Serious dikiiit yaaaa....
🚕🚶🚛🚴🚗🚶🚚🚴🚙
Di jalan raya banyak motor dan mobil saling menyalip satu sama lain.
🚴 Mengapa..?
🏃Karena dulu sejak kecil di rumah dan di sekolah mereka dididik untuk menjadi lebih cepat dan bukan menjadi...
lebih sabar, mereka dididik untuk menjadi yang terdepan dan bukan yang... tersopan.
🚵 Di jalanan pengendara motor lebih suka menambah kecepatannya saat ada orang yang ingin menyeberang...🏃 jalan dan bukan malah mengurangi kecepatannya.
🏃 Mengapa..?

Karena dulu sejak kecil di rumah dan di sekolah anak kita setiap hari diburu dengan waktu, di bentak untuk
bergerak lebih cepat dan gesit dan bukan... di latih untuk mengatur waktu dengan sebaik-baiknya dan dibuat
lebih sabar dan peduli.
💰💶 Di hampir setiap instansi pemerintah dan swasta banyak para pekerja yang suka korupsi.
🏃 Mengapa..?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan di sekolah anak-anak di didik untuk berpenghasilan tinggi dan hidup dengan kemewahan mulai dari pakaian hingga perlengkapan dan bukan... di ajari untuk hidup lebih sederhana, ikhlas dan bangga akan kesederhanaan.
👮🛂 Di hampir setiap instansi sipil sampai petugas penegak hukum banyak terjadi kolusi, manipulasi proyek dan
anggaran uang rakyat
🏃 Mengapa..?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan di sekolah mereka dididik untuk menjadi lebih pintar dan bukan... menjadi
lebih jujur dan bangga pada kejujuran.
😡😖 Di hampir setiap tempat kita mendapati orang yang mudah sekali marah dan merasa diri paling benar sendiri.
🏃 Mengapa..?
Karena dulu sejak kecil dirumah dan disekolah mereka sering di marahi oleh orang tua dan guru mereka dan
bukannya... diberi pengertian dan kasih sayang.
😕😠 Di hampir setiap sudut kota kita temukan orang yang tidak lagi peduli pada lingkungan atau orang lain.
🏃 Mengapa..?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan disekolah mereka dididik untuk saling berlomba untuk menjadi juara dan
bukan... saling tolong-menolong untuk membantu yang lemah.
😏😗 Di hampir setiap kesempatan termasuk di medsos ini juga selalu saja ada orang yang mengkritik tanpa mau... melakukan koreksi diri sebelumnya.
🏃 Mengapa..?
karena dulu sejak kecil di rumah dan disekolah anak-anak biasa di kritik dan bukan... di dengarkan segala keluhan dan masalahnya.
😈😠 Di hampir setiap kesempatan kita sering melihat ada orang "ngotot" dan merasa paling benar sendiri.
🏃 Mengapa..?
karena dulu sejak kecil di rumah dan sekolah mereka sering melihat orang tua atau gurunya "ngotot"... dan
merasa paling benar sendiri.
♿🚮 Di hampir setiap lampu merah dan rumah ibadah kita banyak menemukan pengemis.
🏃 Mengapa..?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan disekolah mereka selalu diberitahu tentang kelemahan2 dan kekurangan2 mereka dan bukannya... di ajari untuk mengenali kelebihan2 dan kekuatan2 mereka.
🚻🚺🚹 Jadi sesungguhnya potret dunia dan kehidupan yang terjadi saat ini adalah hasil dari ciptaan kita sendiri di
rumah bersama-sama dengan dunia pendidikan di sekolah.
💏👪💑 Jika kita ingin mengubah potret ini menjadi lebih baik, maka mulailah mengubah cara mendidik anak-anak kita
dirumah dan disekolah tempat khusus yang dirancang bagi anak untuk belajar menjadi manusia yang berakal
sehat dan berbudi luhur.
💞💖💕 Mari kita belajar terus dan terus belajar untuk menjadi orang tua dan guru yang lebih baik agar potret negeri kita bisa berubah menjadi lebih baik mulai dari kita, keluarga kita dan sekolah kita sendiri
Posted by vivi sanusi at 05:11 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest
Newer Posts Older Posts Home

Kategori

  • CJ NETtv (8)
  • jalan hemat (4)
  • piknik murah meriah (3)
  • renungan (24)

glitter-graphics.com

Blog Archive

  • ►  2023 (2)
    • ►  October (1)
    • ►  May (1)
  • ►  2019 (1)
    • ►  July (1)
  • ►  2017 (42)
    • ►  August (1)
    • ►  July (4)
    • ►  June (6)
    • ►  May (7)
    • ►  April (6)
    • ►  March (3)
    • ►  February (11)
    • ►  January (4)
  • ►  2016 (31)
    • ►  December (3)
    • ►  November (1)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  July (5)
    • ►  June (10)
    • ►  February (7)
  • ▼  2015 (36)
    • ▼  December (1)
      • From Allah to Allah: Rezeki Itu Milik Allah
    • ►  November (1)
      • Kembalikan Anak Lelakiku
    • ►  September (1)
      • Memanfaatkan Limbah Dapur Sebagai Penghias Dapur
    • ►  August (8)
      • Inilah Generasi 60-90an
      • Kucing
      • Fenomena Ojek Online
      • Passport
      • Manusia Indonesia
      • Mengapa
    • ►  July (3)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  January (19)
  • ►  2014 (5)
    • ►  December (4)
    • ►  January (1)
  • ►  2013 (2)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2012 (17)
    • ►  November (17)
Flag Counter

Total Pageviews

About Me

vivi sanusi
View my complete profile

Followers

Instagram

Translate

RumahHokie.com

My Blog List

  • The Naked Traveler
  • LYNN
  • Little Things To Share
  • vivi's Site
  • Lonely Planet Travel Guides and Travel Information
  • Ulasan Liburan - Hotel, Paket Liburan, dan Atraksi Wisata - TripAdvisor
Awesome Inc. theme. Theme images by tolgakolcak. Powered by Blogger.